Minggu, 23 November 2014

Makalah Demokrasi Pendidikan

DEMOKRASI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT
Ahmad Arifin Zain[1]
A.   Pendahuluan
Sehubungan dengan pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, sebagai pengganti undang-undang nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu penting dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana di tegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah.
Gagasan demokratisasi ini didasari oleh pertimbangan memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tetapi juga dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai permintaan stake holder dan user sekolah tentang kompetensi siswa yang akan dihasilkannya.

















B.   Lahirnya Reformasi dalam Pendidikan
Memasuki abad ke-21,[2] isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sector pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional.
Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh dibawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia, baik dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-rata lamanya setiap anak bersekolah.
Lemahnya SDM hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sector ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun saat negara-negara ASEAN lainnya sudah pulih, Indonesia masih belum mampu melakukan recovery dengan baik.
Dengan demikian, gagasan-gagasan tentang reformasi pendidikan di Indonesia  harus dimulai dengan perbaikan komprehensif, baik pada wilayah makro dengan pengembangan regulasi, sistem dan kebijakan standarisasi pendidikan, maupun dalam wilayah mikro ditingkat sekolah dengan berbagai perbaikan dalam aspek perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana, serta perbaikan manajemen, yang semuanya itu dilakukan untuk mencapai perbaikan pada hasil pendidikan.
Faktor penting yang mendasari pentingnya reformasi pendidikan, yaitu:[3]
1.      Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indikator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2.      Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang semuanya itu merupakan peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan kualitas SDM kompetitif.
Disamping itu ada beberapa analisis rasional mengapa reformasi pendidikan itu mutlak dilakukan dalam menghadapi era globalisasi di abad ke -21, dengan mengadaptasi terhadap argumen-argumen William J. Mathis dari Vermont University, yaitu:[4]
1.      Perubahan pola pikir mayarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stake holder nya, dan sekaligus client deri sekolah tersebut.
2.      Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tetapi juaga kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut.
3.      Kemajuan tekhnologi dalam semua sektor industry dan pelayanan jasa akan menggeser posisi manusia.
4.      Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam semesta.
5.      Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing.
6.      Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan peluang yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas dasar gender.
7.      Pemahaman doktrin keagamaan yang terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang kemajuan, tetapi justeru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
8.      Peran media massa yang terus menguat, baik dalam men-sosialisasikan berbagai perubahan social, mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan alternative atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televisi, yang semuanya bisa menjadi contributor pendidikan yang positif, dan bisa menjadi kendala yang negative bagi program-program pendidikan.
Ini semua adalah perubahan yang tidak mungkin dihindari, tetapi harus disikapi dalam merancang reformasi pendidikan, karena sekolah akan melahirkan keluaran yang tidak boleh gagal dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, dan sebaiknya harus mampu menyesuaikan diri, bahkan mampu menjadikan perubahan sebagai kekuasaan untuk artikulasi diri mereka, sehingga diakui oleh publik sebagai SDM unggul yang mampu bersaing dan memiliki berbagai keunggulan klomperatif dengan yang lainnya.


C.    Munculnya Sekolah Demokratis
Munculnya sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mulai sejak zaman orde baru, tampak belum spesifik.
  Istilah demokratis, sebagai mana dalam literature politik diambil dari bahasa yunani kuno, yang terdiri dari dua kata, yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan ditangan rakyat.
Sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks ini James A. Beane dan Michael W. Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah denokratis, adalah:[5]
1.      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka milki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.      Penyampaian kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6.      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
Sejalan dengan itu, james A. Beane dan Michael W. Apple mendefinisikan, bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah mngimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah, yang secara umum mencakup dua aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam prosedur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktek-praktek demokratis. Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktek-prektek demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat, (stake holder dan user skolah) dalam membahas program-progran sekolah/madrasah, dan prosedur pengembalian keputusan-keputusan yang juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.
Berbagai keunggulan model sekolah ini, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis, antara lain adalah:
1.      Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggung jawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan huru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
2.      Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara individual.
3.      Keterlibatan masyarakat dalam sekolah : yakni dalam sekolah demokratis, system pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa, masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat dapat diwujudkan  dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite sekolah atau dewan pendidikan daerah.
Menurut pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program pendidikan secara makro, tetapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua aspeknya.
Undang-undang sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan peserta didik menjadi warga negara yang demokratis. Mereka harus memiliki pengetahuan dan pengalaman bahwa masyarakat ikut terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor pemikiran, konsep dan gagasan maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya. Masyarakat juga terlibat dalam pembahasan program-program sekolah, dan masyarakat juga terlibat dalam evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk siswa dan siswinya.
D.   Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kehidupan global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik didalam maupun di luar negeri. Disinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global.[6]
1.      Paradigma Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan untuk menghadapi era global sebagaimana dikemukakan oleh Tilaar, bahwa pokok-pokok yang harus ada pada paradigma baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.       Pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis.
b.      Untuk mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis.
c.       Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global.
d.      Pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis.
e.       Pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu diatas kekayaan kebinekaan masyarakat.
f.       Pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia.
2.      Aktualisasi Pendidikan
Untuk mewujudkan ketujuh butir sebagaimana telah dikemukakan diatas, diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru. Aktualisasi pendidikan nasional yang baru, mengisyaratkan bahwa tanggung jawab juga dibebankan kepada masyarakat. Maksudnya masyarakat dan pemerintah sama-sama bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan sumbangan untuk membangun gedung sekolah dan uang sekolah, tetapi yang lebih penting masyarakat diharapkan turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk turut bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik.

3.      Sosialisasi: Kendala Klasik
Salah satu kendala yang amat menentukan dalam menyampaikan informasi baru bagi masyarakat adalah masalah sosialisasi. Oleh karena itu harus dipersiapkan sedemikian rupa cara/kiat menyampaikan dan menginformasikan hal baru kepada masyarakat sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat dijangkau.
Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dalam pengimplementasian suatu kebijakan dari pemerintah amat dituntut. Apalagi jika kebijakan ditujukan bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang memang tingkat ekonominya lemah. Seluruh stakeholder bahkan target group harus ditumbuhkan rasa dihargai, sehingga mereka akan mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah.

E.   Realitas di Lapangan : Semua Serba Masyarakat
Dibawah ini akan dipaparkan kenyataan-kenyataan di lapangan berkaitan dengan manajemen pendidikan berbasis masyarakat. Berkaitan dengan situasi Indonesia saat ini, yang sekaligus merupakan permasalahan dibidang pendidikan, sudah seharusnya yang sedang berlangsung saat ini tidak seperti yang terjadi selama ini dimana pelaksanaan pendidikan banyak di warnai dengan pendekatan sarwa negara.
Tujuan pendidikan yang memberi peluang secara luas peran masyarakat dalam bidang pendidikan ini sekaligus menunjukan bahwa negara bukan satu-satunya penyelenggara pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat harus jauh melihat kedepan dengan memerhatikan proses dan sistem pendidikan di negara kita sudah seharusnya melakukan perubahan. Karena kita tidak dapat mempertahankan sistem lama yang selama ini diterapkan yakni sistem yang paradigmanya telah ketinggalan jauh dari tuntutan dan perkembangan zaman.
Di Indonesia, pendidikan berbasis masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Bentuk pendidikan berbasis masyarakat yang masih ada dan tetap eksis, bahkan menjadi model pendidikan yang cukup menjadi trend adalah madrasah dan pesantren. Kemudian berkembang pula diklat, kursus yang diselenggarakan oleh swasta seperti kursus dakwah, bahasa, pertukangan dan lain sebagainya yang bersifat praktis.
Adapun kursus pada lembaga formal, antara lain pendidikan Teknologi Tepat Guna (LPTP), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) yang berada dibawah direktorat jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP). Artinya, lembaga kursus tersebut dinaungi secara formal oleh lembaga pemerintah. Tampaknya memang ironis karena saat ini lembaga pendidikan yang bersifat praktis sudah menjamur, tetapi disisi lain keberadaannya tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Tidak dipungkiri bahwa kondisi seperti ini banyak dipengaruhi kondisi global, atau lebih khusus lagi kondisi perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk.
Perekonomian boleh terpuruk, namun tuntutan zaman yang menghendaki pemberdayaan masyarakat di segala bidang menyebabkan lembaga sejenis kursus-kursus sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat tersebut tetap diminati dan bertahan. Dalam kenyataanya pendidikan berbasis masyarakat yang benar-benar menyiapkan manusia terdidik secara utuh, baik yang bersifat intelektual, sikap moral, dan agama sebagai dasar hanyalah pesantren atau sekolah yang berbasis madrasah. Padahal sebagaimana model pendidikan berbasis masyarakat yang dicontohkan pesantren, lembaga-lembaga tersebut mengikuti pola sebagaimana pesantren yang memiliki kurikulum sendiri, mengusahakan pendanaan sendiri, dan melayani kebutuhan masyarakatnya. Barangkali yang membuat banyak berbeda dengan pesantren, lembaga kursus lebih berorientasi pada bisnis (profit oriented) tanpa mengindahkan segi lain yang justru amat dibutuhkan dimasa seperti sekarang ini dimana sikap/moral/agama telah mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai dampak dari globalisasi.
F.    Penutup
Pendidikan berbasis masyarakat berusaha untuk mengurangi kewenangan pembuatan kebijakan oleh pemerintah yang berdimensi kewilayahan atau ketingkat elementer, karena yang paling mengerti akan kebutuhan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Sistem pendidikan nasional selalu menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga peru dilakukan perubahan  terarah dan berkesinambungan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan. Bertolak dari sistem pendidikan tersebut, maka bangsa Indonesia perlu mewujudkan visi pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

















DAFTAR PUSTAKA
Rosyada, Dede. (2007). Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidika. Jakarta: Kencana.
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. (Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, :, 2005). Analisis SWOT: Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.





[1] Penulis tercatat sebagai Mahasiswa STAIN Purwokerto Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Semester 3.  
[2] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 1.
[3] Ibid, hal: 8.
[4] Ibid, hal. 8-10.
[5] Ibid, hal. 15.
[6] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 114.

Makalah Salafi Wahabi

Oleh Ahmad Arifin Zain
A.    Pendahuluan
Berbicara tentang Salafi Wahhabi, memang sangat menarik. Bagaimana tidak? Aliran yang satu ini begitu berani mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, paling murni, paling bertauhid, dan paling mengikuti Rasululaah SAW. Meskipun bertolak belakang dengan kenyataan dan banyak berbenturan dengan Al-Quran dan hadis-hadis shahih.
Bila ditanyakan, bukankah lebih tinggi Al-Quran dan hadis daripada pendapat para ulama ? Benar, tetapi masalahnya bukan pada Al-Quran atau hadisnya, melainkan pada pemahamannya. Karena para ulama terkemuka itu juga berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Sebab, kalau bukan berdasarkan kedua sumber ini, atas dasar apa para ulama itu berbicara ? Sedangkan para ulama adalah pewaris para Nabi.
Dengan begitu, seharusnya mereka juga bertanya, mana yang lebih bagus dan lebih selamat, menyampaikan ayat Al-Quran dan hadis dengan pemahaman sendiri, atau menyampaikan pemahaman para ulama tentang ayat Al-Quran atau hadis ? Terbukti, ternyata kaum Salafi Wahhabi banyak keliru menempatkan dalil karena mereka memahami dalil tersebut hanya berdasarkan pemahama mereka sendiri (hawa nafsu) yang sarat dengan kepentingan.
Secara lebih detailnya terkait Salafi Wahabi dan beberapa penyimpangannya, dapat pembaca jumpai dalam makalah sederhana ini. Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan kita khususnya, dan bagi kehidupan beragama umat Islam pada umumnya. Penulis sangat berharap, semoga Allah SWT menerima ini sebagai amal shaleh di sisi-Nya, dan semakin memberatkan timbangan amal kebajikan penulis kelak di akhirat. Amin.
B.     Pengertian Salafi Wahhabi
Siapa sebenarnya Salafi Wahhabi ? Kata Salafi adalah bentuk nisbat terhadap kata as-salaf. Secara epistimologis, kata as-salaf sendiri bermakna orang-orang yang hidup sebelum zaman kita. Adapun secara terminologis, as-salaf mengacu pada sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in) kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at tabi’in)”
Dari hadist ini, as-salaf dapat dimaknai sebagai “generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah SAW”, yakni para sahabat, para tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat), dan tabi’at tabi’in (pengikut Nabi setelah masa tabi’in). Oleh karena itu, seorang salafi berarti seorang yang hidup di zaman Nabi SAW, tabi’in dan tabi’at tabi’in.
Sayangnya, akhir-akhir ini istilah salafi ini sudah tercemar. Ada sebagian kelompok yang begitu giat melakukan propaganda dan klaim sebagai satu-satunya kelompok salaf, sedangkan kelompok lain mereka tuding tidak mengikuti salaf. Yang lebih berbahaya, kelompok ini cenderung menyimpang dari ajaran islam yang benar yang di anut oleh mayoritas umat islam dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini.[1]
Kelompok yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan nama Wahhabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi dengan Wahhabi. Sewaktu di Jazirah Arab, mereka lebih di kenal dengan Wahhabiyah Hanbaliyah. Namun, ketika di ekspor ke luar Saudi, mereka menamakan dirinya dengan Salafi.[2]
Salah satu propaganda Salafi Wahhabi yang cukup memperdaya kaum awam adalah ajakan mereka agar umat kembali pada pemahaman salaf. Akan tetapi, ajakan itu tidak semanis bunyinya. Sebab, jika kita cermati, kita akan melihat bahwa orang-orang yang mengajak pada pemahaman salaf itu justru melarang umat islam dari mengikuti pemahaman salaf semisal imam madzhab yang empat (Abu hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).[3] Oleh karena itu, pada hakikatnya mereka bukanlah Salafi atau para pengikut Salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahhabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahhab.
C.     Pendiri Faham Salafi Wahhabi
Pendiri faham ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau lahir di Uyainah, daerah Nejed pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Sejak kecil, Muhammad bin Abdul Wahhab sudah mampu menghafal dan memahami apa yang di bacanya, termasuk Al-Quran. Pada usia 9 tahun, ia sudah hafal Al-Quran 30 juz. Kemampuannya menghafal dan memahami sesuatu juga menumbuhkan kemauan yang kuat untuk memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, setelah cukup belajar kepada ayahnya mengenai fikih madzhab Imam Ahmad bin Hambal, ia melanjutkan pelajaran di Madinah. Ia berguru kepada Syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayat al-Sindi.
Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan belajar ke berbagai Negeri, seperti Basrah (4 tahun), Baghdad (5 tahun), Kurdistan (1 tahun), dan Hamadan (2 tahun). Kemudian, ia pergi ke Isfahan untuk mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah itu, ia pulang ke negerinya setelah singgah di kota Qum.[4]
D.    Kerangka Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Pola (kerangka) pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap Al-Quran dan sunah menyatakan bahwa wibawa keduanya adalah mutlak. Adapun akal hanya berfungsi sebagai instrument atau alat untuk memahami maksud-maksud nas. Inilah yang disebut sebagai pola Puritanis atau pola Salafiyah.
Pemikiran Imam al-Asy’ari banyak mempunyai titik kesamaan dengan pola berpikir golongan Salafiyah yang di pelopori oleh Imam Ahmad bin Hambal dan diikuti Muhammad bin abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab berpendirian tentang kemutlakan Al-Quran dan Sunnah. Pendiriannya itu merupakan pokok dari kehendaknya untuk mengembalikan ajaran Islam ke bentuk ajaran pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat. Dengan kata lain, ia berusaha mengajak kembali ke bentuk agama yang di amalkan ulama-ulama Salaf. Oleh karena itu, pola ini lazim disebut pola Salafiyah.[5]
Secara garis besar di antara penyimpangannya adalah : mudah mengkafirkan orang lain, melakukan persekongkolan demi kekuasaan, memerangi umat muslim dan membuatnya sebagai jihad, merampas harta umat Islam dan mengklaimnya sebagai ghanimah, dan masih banyak lagi penyimpangan yang lain. Begitu banyaknya, sebuah buku yang menuturkan penyimpangan-penyimpangan akan menjadi sangat tebal, oleh karena itu, penulis hanya akan mengupas sebagian kecil penyimpangan tersebut dalam makalah ini.
1.      Mewajibkan Hijrah ke Najd
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengharuskan setiap orang yang mengikuti madzhabnya untuk berhijrah ke Najd, suatu amalan yang tidak pernah di lakukan Rasulullah dan para sahabatnya, alias bid’ah. Dia juga mengkafirkan orang-orang dibawah ini :
a.       Orang yang mengetahui ajaran tauhid yang dia bawa tapi tidak mengikutinya
b.      Orang yang mengetahui ajaran tauhid tetapi malah mencacinya
c.       Orang yang mencintai dirinya, tetapi membenci para pengikutnya
d.      Orang yang menerima ajaran tauhid tetapi tidak hijrah dari negerinya ke negeri tauhid (Najd)[6]
2.      Mengharamkan Shalawat Kepada Nabi Muhammad SAW
Muhammad bin Abdul Wahhab melarang shalawat kepada Nabi SAW. Dia merasa sangat tersiksa jika mendengar seseorang bersholawat kepada Rasulullah, dia juga melarang orang bersholawat kepada Nabi SAW pada malam jumat dan mengeraskan bacaan shalawatnya diatas menara.
Kemudian, Ibnu Abdul Wahhab itu berkata, “Sesungguhnya dosa seorang pelacur lebih ringan ketimbang dosa seorang yang bersholawat kepada Nabi SAW diatas menara.”[7] Dia telah mengelabuhi pengikutnya dengan alasan menjaga tauhid. Sungguh perkataannya itu sangat tidak bermoral dan perilakunya sangat rendah.
3.      Menafsirkan Al-Quran dan Berijtihad Semuanya
Muhammad bin Abdul Wahhab melarang para murid dan pengikutnya untuk membaca buku-buku tafsir, fiqh, hadis, dan memerintahkan mereka agar membakar buku-buku tersebut. Dia juga mengingkari keberadaan ilmu nahwu, ilmu lughah (tata bahasa Arab) dan mengatakannya sebagai ilmu bid’ah.
Kemudian, Ibnu Abdul Wahhab berkata pada pengikutnya, “Berijtihadlah sesuai pemahaman dan pendapat kalian. Hukumilah dengan apa yang kalian lihat cocok untuk agama ini, jangan kalian menoleh kepada buku-buku ini yang di dalamnya ada kebenaran dan kebatilan.”[8]
Jika kita melihat pesan pendirinya itu, wajar saja jika kita dapati ajaran mereka penuh dengan kerancuan, karena Wahhabi yang satu dengan Wahhabi yang lain masing-masing menafsirkan hukum berdasarkan pemahamannya masing-masing. Sehingga, perbedaan agama semakin runcing, bukan hanya dengan umat islam lain, tetapi juga diantara kalangan Salafi Wahhabi sendiri.
4.      Mewajibkan Pengikutnya Agar Bersaksi atas Kekafiran Umat Islam
Jika ada orang yang mau masuk Islam atau menegaskan keislamanya, maka setelah orang itu mengucapkan dua kalimat syahadat, Syaikh (Ibnu Abdul Wahhab) berkata kepadanya: “bersaksilah atas dirimu bahwa kamu sebelumnya kafir, bersaksilah atas kedua orang tuamu bahwa keduanya mati dalam keadaan kafir, bersaksilah atas fulan dan fulan-mereka (Wahhabi) tujukan itu pada para ulama besar terdahulu-bahwa mereka semua orang-orang kafir.”[9] Jika orang yang masuk islam itu setuju dengan kesaksian seperti itu, Syaikh menerima keislamannya. Namun jika tidak, Syaikh memerintahkan (para pengikutnya) untuk membunuhnya.
Ibnu Abdul Wahhab telah mengkafirkan semua orang yang tidak mengikuti ajarannya, meskipun orang itu sangat bertakwa kepada Allah SWT. Bahkan, dia juga menghalalkan darah dan harta mereka. Kita berlindung kepada Allah dari pengkafiran semacam itu.
5.      Sombong dan Merasa Lebih Baik dari Rasulullah SAW
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bersikap sombong kepada Rasulullah dan merasa lebih baik darinya. Ini terlihat dari ucapannya kepada Nabi SAW dalam masalah perdamaian Hudaibiyah. Ibnu Abdul Wahhab berkata : “Aku berpendapat, dalam perdamaian Hudaibiyah seharusnya Nabi begini dan begini.”[10] Sikap seperti itu tidak jarang diikuti oleh para muridnya dengan mencontoh sikap dan ucapannya itu, bahkan lebih buruk dari sikap gurunya.
Lucunya lagi, mereka selalu menyejajarkan Syaikhnya itu dengan Rasulullah. Keyakinan mereka, semua yang dialami Rasulullah juga dialami oleh Syaikhnya itu. Dengan tanpa rasa malu, mereka menyamakan percobaan pembunuhan terhadap syaiknya sama dengan kejadian Suraqah terhadap Rasulullah. Hijrah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dari Huraimila sama dengan hijrah Rasulullah dari Makkah.
Ibnu Abdul Wahhab juga menamakan Jama’ahnya yang berasal dari daerahnya sendiri dengan kaum Anshar, sedangkan orang yang mengikuti ajaran mereka dari kalangan luar daerah disebut kaum Muhajirin. Jika ada orang yang mengikuti mereka dan telah menunaikan kewajiban hajinya, Syaikh memerintahkannya untuk berhaji kembali, karena saat dia berhaji masih dalam keadaan musyrik kafir sehinga tidak diterima hajinya dan kewajiban haji itu tidak gugur sebagai kewajibannya karena pada hakikatnya orang itu belum melaksanakan haji.
Demikian sebagian hal yang dilakukan oleh Ibnu Abdul Wahhab, tanpa rasa malu ia menyamakan dirinya dengan Rasulullah SAW baik dalam keberhasilan-keberhasilannya maupun dalam kegagalan dan cercaan yang dia terima.


6.      Menyamakan Orang-Orang Kafir dengan Orang-Orang Islam
Dalam buku Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi yang mengutip dari kitab Kasyfu asy-Syubuhat halaman 9, ketika menyinggung kafir Quraisy, Ibnu Abdul Wahhab memuji habis-habisan kelebihan mereka dalam beribadah kepada Allah dengan mengatakan : “Mereka orang-orang kafir berbadah memohon kepada Allah SWT siang dan malam ! Di antara mereka ada yang memohon kepada malaikatuntuk kemaslahatan dan kedekatan mereka kepada Allah agar mereka (para malaikat) memohon ampun kepada Allah SWT untuknya. Atau memohon kepada orang shaleh seperti Lata. Atau kepada Nabi seperti Isa. Dan aku paham betul bahwa Rasulullah SAW memerangi mereka disebabkan kemusyrikan inn. Karena Nabi SAW mengajak mereka untuk ikhlas dalam beribadah… Rasulullah SAW memerangi mereka agar doa semuanya untuk Allah… Mereka berteriak sebagaimana Sa’udara mereka orang-orang kafir berteriak, ‘Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.’ (QS. Shaad [38] : 5).[11]
E.     Pokok-Pokok Pendidikan yang Diajarkan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Muhammad bin Abdul Wahhab diasuh dalam lingkungan penganut Mazhab Hambali, suatu aliran yang menganut paham Salafiyah. Imam Ahmad bin Hambal merupakan tokoh yang paling gigih dalam mempertahankan kesederhanaan dan pemurnian pengamalan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang tauhid.[12] Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ia adalah wakil yang tegas dari ahli-ahli sunah dalam mempertahankan kemurnian akidah.
Tauhid, menurut Ibn Abdul Wahhab pada dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah SWT dengan cara-cara yang benar mengesakanNya. Ia membagi tauhid menjadi tiga : Pertama, tauhid rubuiah yang berkenaan tentang pengesaan Allah SWT sebagai Maha Pencipta segala sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab. Kedua, tauhid asma wa sifat yang berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah SWT yang berbeda dengan makhlukNya. Ketiga, tauhid ilahiah yang berkaitan dengan pengesaan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Disembah.
Pemikiran tauhid aliran Salafiah, terutama yang dikemukakan Ibn Taimiyah, di adopsi seluruhnya oleh Ibn Abdul Wahhab, bahkan kemudian lebih dirinci dan dipertegas. Tokoh-tokoh Salafiah, termasuk Ibn Taimiyah sebagai tokoh utamanya, bersifat persuasif tidak efektif, sehingga perlu dengan kekuatan bahkan kekerasan. Dengan kata lain, berbeda dengan tokoh-tokoh Salafiah, Ibn Abdul Wahhab bukan hnaya seorang teoritisi, tetapi juga seorang praktsi yang berusaha keras untuk mewujudkan pemikirannya.
Di antara ajarannya yang berkaitan dengan tauhid adalah:
a.       Zat yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT semata, dan orang yang menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh di bunuh.
b.      Kebanyakan umat Islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah SWT, tetapi pada wali dan orang shaleh. Muslim seperti ini adalah musyrik.
c.       Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan gelar dan sebutan penghormatan kepada Nabi, wali atau malakat.
d.      Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al-Quran dan sunnah merupakan kekufuran
e.       Menafsirkan Al-Quran dengan takwil merupakan kekufuran
f.       Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang mampu
Ibn Abdul Wahhab tertarik meminta perlindungan kepada Ibn Sa’ud karena Ibn Sa’ud dipandang memiliki pemikiran yang moderat, disamping mempunyai ambisi yang besar untuk menguasai daratan Arabia. Pada tahun 1744, keduanya pun bersepakat untuk kerjasama melakukan satu gerakan dengan dua tujuan sekaligus, yaitu mendirikan Negara dan menyebarkan paham Wahhabi.[13]
Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud, yang pertama seorang ulama pembaru dan yang kedua penguasa Negara, benar-benar merupakan perpaduan yang harmonis yang menguntungkan. Keduanya dapat melahirkan semangat dan cita-cita baru. Akhirnya, lahirlah dua bentuk ideologi yang saling menunjang dan menggenapi, yaitu cita-cita menegakan dan memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam.
Paham dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dibidang akidah dan syariah adalah sebagai berikut:
a.       Tauhid adalah pemahaman tentang ketuhanan yang paling memadai sebagai jalan yang mampu memurnikan akidah Islam yang dikehendaki Allah SWT dan Rasulnya
b.      Tidak ada perkataan seorang pun yang patut dijadikan dalil dalam agama Islam, melainkan firman Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW
c.       Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
d.      Syirik dalam segala bentuk, khurafat dan takhayul harus dikikis habis
e.       Ia menghendaki sistem pendidikan diubah dengan sistem yang dinamis dan kreatif.[14]
Meninggalnya Ibnu Sa’ud pada tahun 1766 dan Ibnu Abdul Wahhab pada tahun 1787 tidak menghentikan ekspansi penyebaran misi Wahhabi dan upaya pendirian Negara Saudi di Semenanjung Arabia. Dalam perkembangannya, pimpinan politik tetap berada pada keluarga Sa’ud, sedangkan keluarga Ibnu Abdul Wahhab yang kemudian disebut dengan “keluarga Syaikh (the family of the Syaikh) memiliki posisi sebagai pimpinan agama. Pelaksanaan dari kesepakatan dua orang pendiri Negara Saudi Wahhabi tersebut masih berlangsung hingga sekarang, baik dalam misinya untuk mempertahankan kekuasaan Bani Sa’ud dan penyebaran paham Wahhabi maupun pembagian kedudukan dua keluarga dalam Negara yang berbentuk monarkhi tersebut.[15]
F.      Penutup
Muhammad bin Abdul Wahhab, memberikan sumbangsih pemikiran tentang pemurnian aqidah Islam melalui jalan pendidikan, di antaranya:
Konsepsi Pendidikan Ketauhidan ;
Tauhid adalah awal dan akhir dari seruan Islam. Ia adalah suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberikan hukum-hukum, mengatur dan mendidik dalam semesta ini (tauhid rububiyah), sebagai konsekuensinya, maka hanya Tuhan satu-satunya wajib disembah, dimohon petunjuk dan pertolongan serta yang harus ditakuti (tauhid ilahiyah) bahwa Tuhan itu zat yang luhur dari segala-segalanya, hakim yang maha tinggi yang tiada kesamaan sedikit pun di alam ini, sumber segala kebaikan dan kebenaran yang maha adil dan suci.
Mengingat begitu pentingnya ajaran tauhid bagi umat Islam, maka Muhammad bin Abdul Wahhab memulai gerakan pembaharuannya dengan bertitik tolak pada pendidikan tauhid Ilahiyah yang menjelaskan tentang eksistensi ke-Esa-an Allah SWT sebagai zat yang patut disembah dan dihadapkan segala permohonan dan pertolongan. Tauhid inilah awal agama dan akhirnya, batin agama dan lahirnya, dan juga merupakan awal dakwah Rasulullah SAW. dan akhir ajakannya.
Berkenaan dengan hal itu Muhammad bin Abdul Wahhab yang ingin mengembalikan umat Islam kepada ajaran yang asli dengan mengajarkan syari’at Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis yang betul-betul murni ajaran Rasulullah SAW. Tanpa bercampur-baur dengan ajaran yang dapat membawa umat
Konsepsi Pendidikan Al-Quran dan Hadis ;
Pengajaran Al-Quran kepada kaum muslim akan menambah keyakinannya dalam mengimani Allah SWT, Al-Quran berisi materi-materi yang menyangkut seluruh aktifitas kehidupan manusia baik berhubungan dengan dunia, maupun akhirat. Oleh karena itu Muhammad bin Abdul Wahhab, selain menyeru dan menanamkan nilai-nilai tauhid juga ingin mengembalikan Islam pada ajaran Al-Quran dan hadis.
Muhammad bin Abdul Wahhab mengadakan reformasi total dan koreksi untuk bangkit mengadakan pemurnian aqidah umat Islam. Dari sinilah beliau mengemukakan pokok-pokok pemikirannya sebagai respon terhadap kenyataan yang ada, dengan prinsip taqlid tidak dibenarkan, pintu ijtihad tidak tertutup.
Taklid merupakan sumber kebekuan umat Islam itu sendiri. Hal ini disaksikan langsung oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mendorong beliau untuk mengubahnya, guna memahami ajaran agama yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadis. Orang harus melakukan ijtihad, karena itu menurut beliau pintu ijtihad, tidak pernah tertutup dan tidak perlu ditutup.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa konsep dasar pendidikan Islam yang dilontarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab terdiri dari dua komponen, terutama adalah pendidikan ketauhidan yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu tauhid Ilahiyah, tauhid asma wa sifat, dan tauhid Rububiyah yang intinya adalah peng-Esa-an Allah SWT tiada sekutu bagi-Nya. Kedua adalah pendidikan Al-Quran dan Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang pertama dan utama, yang menjadi pedoman umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
G.    Daftar Pustaka
Idahram, Syaikh. 2011. Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Idahram, Syaikh. 2011. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Najib, Agus Moh, dkk. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press
Suratno, Wahid. 2008. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: Tiga Serangkai



1. Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat  Salafi Wahabi,(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 34
[2] Ibid, hlm. 35
[3] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 73
[4] Wahid Suratno, Khazanah sejarah kebudayaan Islam, (Solo: Tiga serangkai, 2008), hlm. 86
[5] Ibid, hlm. 87
[6] Syakh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat  Salafi Wahhabi,(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 99
[7] Ibid, hlm. 100
[8] Ibid, hlm. 103
[9] Ibid, hlm. 104
[10] Ibid, hlm. 106
[11] Ibid, hlm. 109
[12] Wahid Suratno, Khazanah sejarah kebudayaan Islam, (Solo: Tiga serangkai, 2008), hlm. 86
[13] Agus Muhammad Najib dkk, Gerakan Wahhabi di Indonesia, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009), hlm.8
[14] Wahid Suratno, Khazanah sejarah kebudayaan Islam, (Solo: Tiga serangkai, 2008), hlm. 87
[15] Agus Muhammad Najib dkk, Gerakan Wahhabi di Indonesia, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009), hlm. 9