STUDI
TENTANG SANAD HADIS
Oleh Ahmad
Arifin Zain
(Pasca Sarjana
IPDI Smt 1 IAIN Purwokerto)
A. Pendahuluan
Periwayatan dan penghimpunan hadis dapat melalui
tulisan dan diriwayatkan dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah ilmiah
yang akurat. Diterima atau tidaknya hadis tersebut mengacu pada sanad (perowi)
dan matan (isi) hadis. Maka dari itu pentingnya mempelajari ilmu-ilmu
hadis.
Untuk memahami Ilmu Hadits, ulama telah memberikan kontribusi
yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap
pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits
yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing
ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir
bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun tema-tema yang dibuat oleh ulama sebagai hasil
penerapan ilmu-ilmu itu dan kaedah-kaedahnya serta hasil dan pengklasifikasian
mereka terhadap hadis menjadi shahîh, hasan, dha’îf dan lain-lain.
Adapun satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh
besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para
perawi hadits diantaranya adalah Jarh wa At Ta’dil dan tahammul wa ada’ yang akan kita bahas
dalam makalah ini.
B. Pengertian
dan Ilmu Tentang Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad yaitu
yang diperpegangi (yang kuat) / yang bisa dijadikan pegangan. Secara
terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang
memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama (Nawir Yuslem,
2001: 148). Adapun ilmu yang mempelajari tentang sanad hadis yaitu :
1. Jarh
Wa At-ta’dil
Secara
bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرح يجرح جرحا yang berarti melukai sebagian badan yang
memungkinkan darah dapat mengalir. Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits
oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat
pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan
dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya
hingga kemudian ditolak. (Al-Qathan, 2009: 82).
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa
berarti at-tasywiyah
(menyamakan). (Munzier, 2010: 31). Ta’dil adalah mensifatkan si
perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi
sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”. (As Shidieqy, 2010: 279). Dengan
demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang
membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
mereka. (Al-Khatib,
2001: 260).
Dan
dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh
wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi)
dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat
mereka. Maka dari itu dibutuhkan beberapa persyaratan bagi yang mengkritik
perowi.
a. Sebab-Sebab
Perowi Dikenakan Jarh
Menurut Ibn
Hajar al-Asqolani sebagaimana
dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha. (As
Shidieqy, 2010: 280-281).
1)
Bid’ah yaitu
melakukan tindakan tercela
diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ahadakalanya tergolong
orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar
syari’at.
2)
Mukhalafah
ialah menyalahi periwayatan
orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3)
Yang
dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4)
Jahalah
al-hal ialah tidak dikenal
identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5)
Sedangkan
Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga
keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
b. Syarat
seorang kritikus :
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan
jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik
dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu
hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang
melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
(Fatchur Rahman, 1974: 310-311)
1)
Haruslah
orang tersebut ‘âlim
(berilmu pengetahuan),
2)
Bertaqwa,
3)
Wara’ (orang
yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4)
Jujur,
5)
Belum
pernah dijarh,
6)
Menjauhi
fanatik golongan,
7)
Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dilkan
dan untuk men-tajrihkan.
c.
Cara melakukan Jarh dan Ta’dil :
Seorang
kritikus harus mempunyai sikap dan cara sebagai berikut: (Al-Khatib, 2001: 267)
1)
Bersikap
jujur dan proporsional,
yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib
mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya
tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”.
2)
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya
secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya
agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3)
Tetap
menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya.
4)
Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkansebab-sebab
dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa sifulantsiqah atau‘adil
karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka
mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu
banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan
misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering
teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik
dan lain sebagainya.
Sementara Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:
1)
Melalui
popularitas keadilan perawi dikalangan
para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2)
Melalui
tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
d.
Tingkatan dan Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil :
Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits
merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarh-an
dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi, yaitu: (Nawir
Yuslem, 2006: 171-172).
1)
Tingkatan lafadz ta’dil,
secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang
terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut :
a) Orang
yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit
b)
Si fulan
tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya.
c)
Terpercaya lagi terpercaya,
terpercaya lagi jujur,
terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik.
d)
Kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil
lagi hafiz, adil lagi dabit.
e)
Benar, jujur, tidak ada masalah).
Lafal-lafal tersebut hanya
menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak
menunjukkan ke dabitannya.
f)
Syeikh, tidak jauh dari benar, gak
baik, semoga benar).
Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah
mendakati jarh.
2)
Tingkatan lafadz al-jarh, Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai
dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling
ringan jarh nya.
a)
Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi
yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang
bersangatan.
b)
Menggunakan
lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih
lunak dari peringkat yang pertama.
c)
Menggunakan
lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta, lafadz yang digunakan misalnya: مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ
بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat ).
بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat ).
d)
Menggunakan
lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan: رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ
ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
e)
Menggunakan
lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya: الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ،
ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).
ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).
f)
Mengemukakan
sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan
perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya: ثق منه ليس بذلك القوي (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya: ثق منه ليس بذلك القوي (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
2. Tahammul
Wa Al ada’
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli
tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau
biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul menurut bahasa
adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul menurut
istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah
hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث وخذه عن الشيخ (Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para
syekh atau guru).
Sedangkan
pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, menyampaikan sesuatu pada orang yang
dikirim kepadanya. Berarti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan
hadits.
Sedangkan
ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
(Meriwayatkan
hadits dan memberikannya pada para murid). (Muchsin. 2012)
a. Syarat Penerima Hadis dan
Penyampaiannya
1) Syarat At Tahammul
Dalam perbedaan pendapat para ulama
tersebut Nuruddin menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima
hadits menurut jumhur adalah tamyîz yaitu suatu kemampuan yang
menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya. (Nuruddin,
1994: 194)
Tamyîz ini jelas berbeda-beda antar
masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan
bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha
keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam
tiga pendapat: (al-Khathib, 2001: 201)
Pertama, bahwa umur minimalnya
adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah
riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ r.a.,
katanya: “Aku masih ingat siraman Nabi s.a.w. dari timba ke mukaku, dan aku
(ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafizh Musa ibn
Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil
dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya
merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyîz. Beliau
menjelaskan pengertian tamyîz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil
dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyîz. Bila anak telah
memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz
dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia
tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
2)
Syarat Al Ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqih sependapat bahwa
orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun
wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (al-Khathib, 2001: 202).
a)
Islam
b)
Baligh
c)
Adil
d)
Dhobit
b.
Metode Penerimaan Hadits dan
Penyampaiannya
1) As-Samâ’,
(السماع,
mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan
ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imlâ’
ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di
peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang
guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja.
Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya.
Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran.
Menurut M.M.
Azami metode as-samâ’ini ada beberapa bentuk: (Azami, 1993: 22-24)
1. penyampaian
hadits secara lisan oleh guru
2. pembacaan
dari kitab
3. tanya-jawab
4. dikte
2) Al-Qirâ’ah
‘Alâ asy-Syaikh (القرأة علي
الشيخ), membaca di
hadapan guru. Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran).
Ada juga menyebutnya’عرض القرأة (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan
bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an
kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru,
baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru
memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab
asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi
kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu
naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di
hadapan guru. Lafazh-lafazh yang digunakan dalam metode ini adalah:
عليه
قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع
(Soetari, 1997: 186)
3) Al-Ijâzah
(الأجازة, sertifikasi atau rekomendasi). Yaitu seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan
kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني
(aku mengijâzahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). (Mudasir,
2005: 185)
4) Al-Washiyyah
(الوصيه).
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal,
agar kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya.
Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama
muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan
dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka
sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah
ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131
H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan
kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya. (Al-Khathib, 2001:
215).
C. Kesimpulan
Mengkritik suatu hadis dibolehkan apabila pengkritik tersebut memenuhi persyaratan
yang telah disepakati ulama hukum Islam, khususnya bagi pelajaran ilmu hadis.
Dan selama pencelaan tersebut tidak diikuti unsur-unsur kepentingan pribadi
dalam artian tidak ada dendam individu diantara pencela perawi hadis terhadap
perawi hadis. Karena pencelaan ini diperbolehkan dengan tujuan demi kepentingan
agama dan bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.
Demikianlah sekilas
pembahasan tentang jarh dan ta’dil, dan tahammul wal ada’, yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para
perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen
bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits
palsu.
Penjelasan diatas mengenai ilmu yang mempelajari tentang sanad baru
beberapa dan mungkin belum dapat difahami sepenuhnya. Masih banyak jenis ilmu
yang menjembatani kita untuk lebih mengetahui tentang sanad sebuah hadis.
Daftar Pustaka
‘Ajjajj,
Muhammad al-Khathib. 2001. Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna’.
2009. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Azami.
1993. Memahami Ilmu Hadits (Terj. Meth Kieraha). Jakarta:
Lentera.
Haryanto, Muchsin. 2012. At-Tahammul
wa al-Adâ’ _ Quranic Studies.html
Hasbi
as-shidieqy, Teuku Muhammad. 2010.
Pengantar Ilmu hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mudasir.
2005. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Nawir
Yuslem, Ilmu Hadis, 2001: 148
Nuruddin,
1994. Ulûm al-Hadîts (Terj, Mujiyo). Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalah al-Hadits. Bandung.
PT. Al-Ma’arif.
Soetari,
Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Suparta ,
Munzier. Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Yuslem, Nawir. 2006. Sembilan Kitab Induk Hadis. Jakarta:
Hijri Pustaka Utama.