Sabtu, 05 Maret 2016

Studi Tentang Sanad Hadis

STUDI TENTANG SANAD HADIS
Oleh Ahmad Arifin Zain
(Pasca Sarjana IPDI Smt 1 IAIN Purwokerto)

A.    Pendahuluan
Periwayatan dan penghimpunan hadis dapat melalui tulisan dan diriwayatkan dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah ilmiah yang akurat. Diterima atau tidaknya hadis tersebut mengacu pada sanad (perowi) dan matan (isi) hadis. Maka dari itu pentingnya mempelajari ilmu-ilmu hadis. 
Untuk memahami Ilmu Hadits, ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun tema-tema yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaedah-kaedahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadis menjadi shahîh, hasan, dha’îf dan lain-lain.
Adapun satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits diantaranya adalah Jarh wa At Ta’dil dan tahammul wa ada’ yang akan kita bahas dalam makalah ini.
B.     Pengertian dan Ilmu Tentang Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad yaitu yang diperpegangi (yang kuat) / yang bisa dijadikan pegangan. Secara terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama (Nawir Yuslem, 2001: 148). Adapun ilmu yang mempelajari tentang sanad hadis yaitu :
1.      Jarh Wa At-ta’dil
Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata  Kerja جرح يجرح جرحا yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak. (Al-Qathan, 2009: 82).
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan). (Munzier, 2010: 31). Ta’dil adalah mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”. (As Shidieqy, 2010: 279). Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka. (Al-Khatib, 2001: 260).
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Maka dari itu dibutuhkan beberapa persyaratan bagi yang mengkritik perowi.
a.      Sebab-Sebab Perowi Dikenakan Jarh
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha. (As Shidieqy, 2010: 280-281).
1)      Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ahadakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2)      Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3)      Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4)      Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5)      Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
b.      Syarat seorang kritikus :
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni: (Fatchur Rahman, 1974: 310-311)
1)   Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
2)   Bertaqwa,
3)   Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4)   Jujur,
5)    Belum pernah dijarh,
6)   Menjauhi fanatik golongan,
7)   Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
c.       Cara melakukan Jarh dan Ta’dil :
Seorang kritikus harus mempunyai sikap dan cara sebagai berikut: (Al-Khatib, 2001: 267)
1)      Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”.
2)      Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3)      Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya.
4)      Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkansebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa sifulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Sementara Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:
1)      Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2)      Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil  menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
d.      Tingkatan dan Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil :
Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarh-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi, yaitu: (Nawir Yuslem, 2006: 171-172).
1)      Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut :
a)      Orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit
b)      Si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya.
c)      Terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik.
d)     Kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit.
e)      Benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
f)       Syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
2)      Tingkatan lafadz al-jarh, Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
a)      Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:  أكذب الناس،  ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
b)      Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
c)      Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta, lafadz yang digunakan misalnya: مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ
بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat ).
d)     Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan: رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ
ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
e)      Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya: الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ،
ضَعِيْفٌ  مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).
f)       Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan
perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
  ثق منه  ليس بذلك القوي (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).

2.      Tahammul Wa Al ada’
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
                                                                         التحمل: معناه تلقى الحديث وخذه عن الشيخ (Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru).
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya. Berarti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
                                                                        الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
(Meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid). (Muchsin. 2012)
a.      Syarat Penerima Hadis dan Penyampaiannya
1)      Syarat At Tahammul
Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Nuruddin menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyîz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya. (Nuruddin, 1994: 194)
Tamyîz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka mem­berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me­ringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat: (al-Khathib, 2001: 201)
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ r.a., katanya: “Aku masih ingat siraman Nabi s.a.w. dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafizh Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyîz. Beliau menjelaskan pengertian tamyîz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyîz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pende­ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mende­ngar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
2)      Syarat Al Ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqih sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (al-Khathib, 2001: 202).
a)      Islam
b)      Baligh
c)      Adil
d)     Dhobit
b.      Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
1)      As-Samâ’, (السماع, mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imlâ’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpen­dapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada ke­benaran.
Menurut M.M. Azami metode as-samâ’ini ada beberapa bentuk: (Azami, 1993: 22-24)
1.      penyampaian hadits secara lisan oleh guru
2.      pembacaan dari kitab
3.      tanya-jawab
4.      dikte
2)      Al-Qirâ’ah ‘Alâ asy-Syaikh  (القرأة علي الشيخ), membaca di hadapan guru. Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’عرض القرأة  (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Lafazh-lafazh yang digunakan dalam metode ini adalah:
عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع      (Soetari, 1997: 186)   
3)      Al-Ijâzah  (الأجازة, sertifikasi atau rekomendasi). Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijâzahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). (Mudasir, 2005: 185)
4)      Al-Washiyyah (الوصيه). Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan  seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran me­tode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya. (Al-Khathib, 2001: 215).
C.    Kesimpulan
Mengkritik suatu hadis dibolehkan apabila pengkritik tersebut memenuhi persyaratan yang telah disepakati ulama hukum Islam, khususnya bagi pelajaran ilmu hadis. Dan selama pencelaan tersebut tidak diikuti unsur-unsur kepentingan pribadi dalam artian tidak ada dendam individu diantara pencela perawi hadis terhadap perawi hadis. Karena pencelaan ini diperbolehkan dengan tujuan demi kepentingan agama dan bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil, dan tahammul wal ada’, yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
Penjelasan diatas mengenai ilmu yang mempelajari tentang sanad baru beberapa dan mungkin belum dapat difahami sepenuhnya. Masih banyak jenis ilmu yang menjembatani kita untuk lebih mengetahui tentang sanad sebuah hadis.
                                                                





Daftar Pustaka

‘Ajjajj, Muhammad al-Khathib. 2001. Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Azami. 1993. Memahami Ilmu Hadits (Terj. Meth Kieraha). Jakarta: Lentera.
Haryanto, Muchsin. 2012. At-Tahammul wa al-Adâ’ _ Quranic Studies.html
Hasbi as-shidieqy, Teuku Muhammad. 2010. Pengantar Ilmu hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mudasir. 2005. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Nawir Yuslem, Ilmu Hadis, 2001: 148
Nuruddin, 1994. Ulûm al-Hadîts (Terj, Mujiyo). Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalah al-Hadits. Bandung. PT. Al-Ma’arif.
Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Yuslem, Nawir. 2006. Sembilan Kitab Induk Hadis. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.