Sabtu, 05 Maret 2016

Pendidikan Islam Dalam perubahan sosial

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL
A.    Pendahuluan
B.     Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat dalam hubungan sosial sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Perubahan-perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi. Pendidikan pada masyarakat sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam mempengaruhi manusia.[1]

C.     Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Penyebabnya
Perubahan sosial muncul dalam berbagai bentuk yang tentunya ditentukan oleh masing-masing faktor penyebabnya. Oleh karena itu, bentuk-bentuk perubahan sosial harus dipahami melalui sudut pandang tertentu sehingga tidak kabur dan tumpang tindih.
Ada beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memetakan bentuk perubahan sosial, yaitu segi waktu (kecepatan perubahan), segi kapasitas (besar-kecilnya perubahan), dan segi motivasi (dikehendaki-tidaknya suatu per-ubahan). Di samping itu, perubahan sosial juga bisa diklasifikasi berdasarkan sifatnya, seperti kenyataan bahwa perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Akan tetapi, mengingat keterbatasan yang ada, berikut hanya akan dikemukakan tiga segi perubahan sosial yang dikemukakan pertama secara ringkas.

1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan lambat disebut juga evolusi. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Dalam faktanya, evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat secara umum, di mana suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Sebagai contoh, masyarakat Banjar di masa awal sejarah pembentukannya hanyalah terwujud pada komunitas-komunitas yang berdiam di sekitar pusat Kerajaan Banjar, yaitu daerah Banjarmasin dan Martapura. Namun karena terjadinya perubahan sosial yang disebabkan oleh beberapa faktor maka istilah masyarakat Banjar menjadi melebar sehingga mencakup pula komunitas-komunitas yang berdiam di daerah utara yang disebut daerah hulu sungai
Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan.
Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu. Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung terciptanya revolusi: (a) Adanya keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.; (b) adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut; (c) adanya momentum untuk melaksanakan revolusi; (d) Adanya tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat; (e) Adanya kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.
Contoh perubahan secara revolusi adalah gerakan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlevi (anaknya Reza Pahlevi) yang otoriter dan mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem Republik Islam.

2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

3. Perubahan yang Direncanakan dan Perubahan yang
   Tidak Direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan. Contohnya adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.
Adapun penyebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan di masyarakat dimungkinkan oleh adanya sebab-sebab yang berasal dari masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat. Berikut akan dikemukakan secara sekilas tentang sebab-sebab dimaksud.

a. Sebab-Sebab Internal
Sebab-sebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam masyarakat (sebab intern), yaitu:
1)      Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk.
2)      Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention).
3)      Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4)      Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar. Misal-nya, Revolusi Rusia (1917) yang mampu menggulingkan pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga.
b. Sebab-Sebab Ekstern
Perubahan sosial dan kebudayaan juga dapat terjadi karena adanya sebab-sebab yangberasal dari luar masyarakat (sebab ekstern), yaitu:
1)      Adanya pengaruh bencana alam. Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
2)      Adanya peperangan, baik perang saudara maupun perang antarnegara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang kalah.
3)      Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.[2]
D.    Pendidikan Islam Dalam Perubahan Sosial
(Telaah tentang Peran Akal dalam Pendidikan Islam)
Pendidikan dan masyarakat merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan. Hubungannya dalam Term Figerlind, bersifat dialektis. Bagaimana agar pendidikan itu tidak hanya hanyut oleh dinamika perubahan, tetapi ia mampu memerankan dirinya sebagai agen perubahan itu sendiri. Kreativitas dalam konteks ini merupakan variabel yang perlu dipertimbangkan. Bagaimana caranya? Kreativitas merupakan indikator kecerdasan. Semakin cerdas seseorang semakin tinggi kreativitasnya; sedangkan kecerdasan merupakan kerja akal, maka cara pengoptimalannya optimalisasi fungsi akal itu sendiri.[3]

E.     Kreativitas dan Perubahan Sosial
Perubahan sosial, sebagaimana telah dinyatakan pada bagian terdahulu, merupakan sesuatu yang tidak dihindari. Pendidikan sebagai aspek kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dati masyarakat, juga harus terlibat dalam arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak hanya terbatas padakemampuannya untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan sosial. Maka kata kunci yang relevan untuk dikedepankan adalah “kreativitas”.
Kreativitas (creativity) berasal dari kata kerja create yang artinya make something  new or original. Rodhes (utami munandar) melihat kreativitas dari empat dimensi: person (pribadi), process (proses), press (dorongan), product (produk).
Kecerdasan, yang sering juga disebut intelegensi, adalah istilah yang melukiskan kemampuan manusia untuk mengetahui dan melihat problema serta memecahkan dengan sukses dan kemampuan untuk mempelajari dan menyesuaikan perilaku dengan lingkungan yang umumnya mempunyai bermacam aspek dan coraknya.[4] Semakin cerdas seseorang akan semakin dapat menentukan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersifat kritis di satu sisi, dan membuat perubahan yang di sisi yang lain. Sebab kreativitas-yang merupakan produk kecerdasan-itu sendiri sangat inheren dengan perubahan, dan sangat tidak toleran adanya status quo.
F.      Kecerdasan dan Akal
Secara substansial, manusia terdiri atas unsur-unsutr badan, akal dan ruh. Aspek mana dari ketiga unsur tersebut yang paling dominan dalam mengoptimalkan kecerdasan dan pada gilirannya mempengaruhi kreativitas seseorang. Dengan eksisnya akal, manusia berbeda dengan makhluk lain.
Kecerdasan, yang dalam bahasa inggrisnya diistilahkan intelligence, merupakan potensi kejiwaan yang berbicara tentang benar dan salah, berbeda dengan perasaan yang berbicara tentang baik dan buruk. Karena berbicara tentang benar dan salah, maka ia berhubungan dengan akal yang aktifitasnya tidak terlepas dari pemakaian logika. Dengan akal, manusia mampu berpikir, berkreasi. Dengan akalnya pula, manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Aktifitas berpikir merupakan daya rohaniah yang pada gilirannya akan merefleksi dalam bentuk tingkah laku. Sehingga tingkah laku yang demikian dinamakan tingkah laku yang intelligent, yaitu tingkah laku yang merupakan pancaran daya berpikir.
Manusia dikatakan intelligent (cerdas), bila ia mampu menggunakan akalnya sebagai daya pikir yang pada gilirannya mampu memahami, mengerti dan memecahkan suatu realitas dengan tepat dan tepat. Bagaimana agar akal manusia tersebut menjadi cerdas, maka ia perlu di optimalkan, dengan kata lain membutuhkan pembelajaran.[5]



[3] Ismail SM, Nurul Huda, Abdul Kholoiq, Paradidma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm.308-309
[4] Imam Barnadib, Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan. (Yogyakarta : FIP-IKIP, 1994), hlm.78
[5] Ismail SM, Nurul Huda, Abdul Kholoiq, Paradidma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm.314-315

Tidak ada komentar:

Posting Komentar