SCHOOL
STRESS DI MI

Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan
Dosen
Pengampu : Novan Ardi Wiyani, M.Pd.i
Disusun
Oleh :
1. Ahmad
Arifin Zain 1123305014
2. Khanifah 1123305035
Tarbiyah/6 PGMI-A
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
BAB I
PENDAHULUAN
Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak setelah
keluarga. Anak (peserta didik) mendapatkan pengajaran tentang ilmu dari guru
(pendidik). Dengan harapan, peserta didik dapat menjadi seorang yang mandiri
untuk memenuhi kebutuhannya di masa yang akan datang. Apabila kita melihat
siswa-siswi di Madrasah Ibtidaiyah nampaknya mereka riang gembira dan jauh dari
masalah-masalah, tetapi beberapa penelitian menemukan bahwa siswa-siswi ditingkat
MI mempunyai tingkat stres yang membuatnya merasa takut dan menimbulkan
perasaan yang tertekan bagi siswa. Madrasah Ibtidaiyah merupakan sebuah lembaga
yang sangat fundamental dalam pengaruhnya bagi perkembangan peserta didik. Maka
dari itu MI sebaiknya didesain sebaik mungkin supaya peserta didik merasa
nyaman dan senang ketika berada di Madrasah. Makalah ini akan mengkaji
konsep/pengertian school stress,
sumber, dampak, serta upaya sekolah/guru dalam menangani problem school stress yang dialami peserta didik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian/Konsep School Stress
Stress merupakan realitas kehidupan manusia setiap
hari. Manusia tidak dapat menghindarinya sebagai bagian dari pengalaman hidup,
stres merupakan hal yang rumit, kompleks. Oleh karena itu stres dapat dilihat
dari sudut pandang yang berbeda. Stres adalah setiap perubahan yang memerlukan
penyesuaian. Biasanya jika berfikir tentang kejadian yang menimbulkan stres
dianggap sebagai kejadian yang negatif, seperti kehilangan barang, sakit atau
yang lainnya.
Pada khasanah psikologi khususnya dalam kajian
tentang stress, istilah stres sekolah merupakan istilah yang relatif baru.
Konsep school stress yang belakangan
ini mulai diminati oleh sejumlah peneliti psikologi dan pendidikan untuk
memahami kondisi stress yang dialami oleh siswa di sekolah, sebenarnya bukanlah
konsep yang orisinil dan sama sekali baru, tetapi lebih merupakan stres yang
dialami individu akibat tuntutan organisasi atau tuntutan pekerjaannya.
Desmita mendefinisikan stres sekolah sebagai
ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-peristiwa kehidupan sekolah dan
perasaan terancamnya keselamatan atau harga diri siswa, sehingga memunculkan
reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada
penyesuaian psikologis dan prestasi akademis.
Dengan demikian yang dimaksud dengan stres sekolah
adalah kondisi stres atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh siswa akibat
adanya tuntutan sekolah yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya
ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta dapat
memengaruhi prestasi belajar mereka.[1]
B.
Sumber
School Stress
Stress yang dialami oleh siswa bersumber dari
berbagai tuntutan sekolah. Ada empat tuntutan sekolah yang menjadi sumber stres
bagi siswa, yaitu physical demands, task
demands, role demands, dan interpersonal demands.
Untuk lebih jelasnya tentang keempat dimensi
tuntutan sekolah yang menjadi sumber stres siswa tersebut, berikut akan
diuraikan.
1. Physical Demands
(Tuntutan Fisik)
Maksudnya
adalah stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah.
Dimensi-dimensi dari lingkungan ini meliputi : keadaan iklim ruangan kelas,
temperatur yang tinggi, pencahayaan dan penerangan, sarana-prasarana penunjang
pendidikan, daftar pelajaran, kebersihan dan kesehatan sekolah, keamanan
sekolah, dan sebagainya.
2. Task Demands
(Tuntutan Tugas)
Task demands
atau tuntutan tugas dalam konsep stres sekolah ini dapat diartikan sebagai
tugas-tugas pelajaran yang harus dikerjakan atau dihadapi oleh peserta didik
yang menimbulkan perasaan tertekan atau stres. Aspek-aspek ini meliputi:
tugas-tugas yang dikerjakan di sekolah dan di rumah, mengikuti pelajaran,
memenuhi tuntutan kurikulum, menghadapi ulangan atau ujian, mematuhi disiplin
sekolah, penilaian, dan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
3. Role Demands (Tuntutan
Peran)
Sekumpulan
kewajiban yang diharapkan dipenuhi oleh masing-masing individu sesuai dengan
posisinya inilah yang disebut dengan peran. Peran inilah yang mempertemukan
seseorang dengan lingkungan sosialnya. Peran secara khusus berkaitan dengan
sekumpulan harapan yang dimiliki oleh seseorang dan orang lain yang membentuk
lingkungan sosial. Harapan ini tidak hanya berupa tingkah laku atau tindakan,
melainkan juga meliputi harapan tentang motivasi, perasaan, nilai-nilai, dan
sikap. Semua harapan peran ini dapat menjadi salah satu sumber stres bagi
siswa, terutama ketika ia merasa tidak mampu memenuhi harapan-harapan peran
tersebut.
4. Interpersonal Demands
(Tuntutan Interpersonal)
Di
lingkungan sekolah, siswa tidak hanya dituntut untuk dapat mencapai prestasi
akademik yang tinggi, melainkan juga harus mampu melakukan interaksi sosial
atau menjalin hubungan baik dengan orang lain. Meskipun data penelitian dan
pengalaman telah menunjukan bahwa interaksi sosial di sekolah merupakan salah
satu faktor penting yang turut memengaruhi perkembangan kepribadian siswa,
namun di sisi lain interaksi sosial di sekolah ini juga dapat menjadi sumber
stres bagi mereka. Banyak dari dimensi interaksi sosial di sekolah ini yang
dapat menimbulkan ketegangan dalam diri siswa, seperti ketidakmampuan menjalin
hubungan interpersonal yang positif dengan guru dan teman sebaya, menghadapi
persaingan dengan teman, kurangnya perhatian dan dukungan dari guru, perlakuan
guru yang tidak adil, dijauhi dan dikucilkan teman, dan sebagainya.
Rice
dalam Desmita, membedakan dua tipologi sumber stres sekolah, yaitu personal and
social stressor, dan academssoic stres.
Personal and Social Stressor,
adalah stres siswa yang bersumber dari diri pribadi dan lingkungan sosial.
Meliputi isu-isu : transisi, lingkungan tempat tinggal, saudara dan teman lama.
Academis Stressor,
adalah stres siswa yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal
yang berhubungan dengan kegiatan belajar, yang meliputi : tekanan untuk naik kelas,
lama belajar, menyontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, dan lain-lain.[2]
Stres
pada anak sering kali bisa terlihat melalui tubuhnya. Misalnya munculnya jerawat, problem pencernaan, insomnia, kelelahan, sakit
kepala, dan masalah sewaktu buang air, maupun reaksi psikosomatik lainnya
mungkin merupakan tanda-tanda bahwa ada tekanan pada diri anak.
Beberapa
stres yang dialami seorang siswa antara lain:
a. Tekanan
Orang Tua
Orang
tua ingin yang terbaik dengan masa depan anaknya. Untuk mencapai nilai terbaik,
maka orang tua membebani anak-anaknya dengan berbagai kursus pelajaran yang
dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan anak, istirahatnya,
dan perkembangannya.
Banyak
orang tua tidak menyadari bahwa membantu si anak merasa relaks justru akan
menyegarkan pikiran dan membantunya belajar dengan lebih baik. Sebaliknya para
orang tua terus membebani anak-anak mereka untuk mendapatkan prestasi terbaik
dan lulus ujian dengan memuaskan.
b. Tekanan
Guru
Sama
seperti orang tua, banyak guru ingin siswanya mendapat nilai terbaik. Guru
selalu mendorong muridnya untuk unggul dalam pelajaran, terutama jika muridnya
berprestasi.
Mengapa
guru juga ikut menekan murid-muridnya mendapat nilai terbaik? Karena reputasi
guru dan sekolah dipertaruhkan saat ujian sekolah, khususnya Ujian Nasional.
c. Tekanan
dari Sesama Siswa
Semangat
kompetisi akan semakin memanas menjelang ujian sekolah. Setiap siswa berlomba-lomba
untuk menunjukkan prestasi terbaik. Bahkan segala cara dilakukan untuk meraih
nilai tertinggi termasuk menyontek maupun mencari bocoran soal.
d. Tekanan
dari Diri Sendiri
Siswa
berprestasi cenderung menjadi perfeksionis. Sehingga jika suatu kemunduran atau
kegagalan terjadi, entah itu nyata atau masih belum terjadi, dapat membuat
stres dan depresi.[3]
C.
Dampak
School Stress yang Dialami Peserta
Didik
Stres sekolah mempunyai dampak terhadap kehidupan
pribadi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun secara psikososial atau
tingkah laku. Sejumlah temuan mengindikasikan bahwa tuntutan sekolah merupakan
sumber stres yang memprovokasi stimuli dan menganggap bahwa anak mengalami
tingkat stres yang berbeda. Anak yang mengalami tingkat stress yang tinggi
dapat menimbulkan kemunduran prestasi, dan problem psikososial lainnya.
Sedangkan anak yang mengalami stres sedang, malah dapat meningkatkan kesadaran,
kesiapan dan prestasi diri. Ini menunjukan bahwa dampak stres sekolah terhadap
kehidupan anak ini, tidak sepenuhnya bersifat negatif melainkan juga dapat
bersifat positif.
Hal ini dapat dimengerti, sebagaimana dijelaskan
oleh Hans Selye dalam Desmita, bahwa tidak semua stres bersifat negatif,
melainkan stres dapat pula bersifat positif. Dalam hal ini ada tiga bentuk
stres yaitu distress, eustress, dan
neustress.
Distress
diasosiasikan dengan respons terhadap stres yang bersifat tidak memuaskan dan
merusak pada keseimbangan fungsi tubuh individu. Sedangkan eustress itu kebalikannya distress.
Adapun neustress mengacu pada
respons stres yang bersifat netral, yang tidak memberi akibat negatif atau
positif, namun menyebabkan tubuh berada pada fungsi internal yang mantap.
Mengacu pada teori di atas, dapat dipahami bahwa
stres sekolah tidak sepenuhnya bermakna negatif, melainkan juga dapat bermakna
positif bagi remaja, dalam artian dapat sebagai tantangan untuk mengatasinya.
Stres yang bermakna positif ini tidak membahayakan, malah sebaliknya diperlukan
untuk meningkatkan kualitas diri dan prestasi belajar.[4]
D.
Upaya
Mengatasi Problem School Stress
Stres pada hakikatnya tidak bisa dihilangkan sama
sekali, kecuai hanya bisa direduksi atau diturunkan intensitasnya, sehingga
berada pada batas-batas toleransi atau tidak sampai membahayakan dan
menimbulkan dampak yang negatif bagi kehidupan manusia. Stres itu perlu
ditanggulangi, ditangani atau dikelola dengan baik, sehingga menjadi stres yang
positif, yang menantang peserta didik untuk meningkatkan kualitas dan keampuan
diri, serta kesejahteraan hidup dapat terpeihara. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa upaya yang dapat dilakukan guru/sekolah dalam mengatasi stres yang
dialami peserta didik.
1. Menciptakan
Iklim Sekolah yang Kondusif
Iklim
sekolah adalah suasana yang muncul akibat hubungan antara kepala sekolah dengan
guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik, dan hubungan antar peserta
didik, yang memengaruhi sikap, kepercayaan, nilai, motivasi, dan prestasi
orang-orang yang terlibat dalam suatu (sekolah) tertentu. Iklim sekolah yang
sehat ini, di samping dibutuhkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa,
juga diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya perasaan tidak nyaman dan stres
dalam diri siswa, yang pada gilirannya akan memengaruhi prestasi belajar
mereka.
2. Melaksanakan
Program Pelatihan Penanggulangan Stres
Kondisi
stres yang dialami peserta didik di sekolah dapat diatasi oleh guru dengan
melaksanakan program pelatihan inokulasi stres. Inokulasi stres merupakan salah
satu strategi atau teknik kognitif perilaku dalam program-program terapi dan
konseling. Prinsip dasar yang memandang proses kognitif sebagai rangkaian
terpadu dengan perilaku manusia tersebut, kemudian diimplementasikan dalam
program-program terapi dan konseling, sehingga melahirkan apa yang dikenal
dengan “terapi kognitif perilaku”.
Konsep
Inokulasi stres ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia dapat meningkatkan
kapasitas diri dalam mengtasi stres dengan cara mengubah keyakinan dan
pernyataan diri tentang keberhasilan menghadapi stres. Training inokulasi stres
mempunyai dampak yang positif bagi peningkatan kualitas hidup peserta didik.
3. Mengembangkan
Resiliensi Peserta Didik
Resiliensi
merupakan salah satu aspek potensi yang perlu dikembangkan dalam diri peserta
didik. Sebab, resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas insani yang
dimiliki peserta didik yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan
yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.[5]
4. Seorang
Pendidik Harus Mengetahui Psikologi Perkembangan Anak.
Psikologi
perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam
perkembangannya yang mencakup periode masa kanak-kanak, remaja, sampai usia
lanjut. Supaya pendidik dapat bertindak sesuai dengan keadaan psikologis anak
didiknya, dia perlu tahu bagaimana perkembangan itu terjadi. Di sinilah peran
psikologi perkembangan agar seorang pendidik dapat mengetahui bagaimana secara
operasional masing-masing tahap perkembangan, sehingga dapat membantu mengatasi
problem school stress siswa MI.
Sebagai ilustrasi misalnya :
a. Perencanaan
pendidikan dapat didasarkan atas bakat, keterampilan dan kecerdasan anak.
b. Pendidik
yang mengetahui setiap tahapan perkembangan, dapat membantu menyiapkan siswa
untuk tahapan berikutnya.
c. Perkembangan
fisik, kecerdasan, dan kepribadian awal memberi petunjuk tentang apa saja yang
dapat dikerjakan anak ketika dia dewasa. Petunjuk ini dapat digunakan orang tua
dan guru untuk merencanakan pendidikan bagi pekerjaan anak kelak.[6]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuntutan yang diterima peserta didik disekolah dan
juga tekanan dari lingkungan dapat menimbulkan stress pada peserta didik. Stres
yang dialami peserta didik akan berdampak terhadap pada kehidupan pribadinya, baik
secara fisik, psikologis maupun psikososial. Untuk mengantisipasi terjadinya
stress yang berkepanjangan yang pada giliranya akan mengganggu prestasi
akademiknya. Pihak sekolah diharapkan dapat mencegah dan mengatasi problem
stress sekolah yang dialami peserta didik.
B. Saran-Saran
Kita sebagai calon guru Madrasah Ibtidaiyah hendaknya bisa menguasai materi School Stress tersebut supaya bisa
mengajar dengan baik dan tidak membuat peserta didik kita stres dengan adanya
berbagai tuntutan dan tekanan.
Setelah mempelajari materi School Stress tersebut, kami berharap supaya bisa memahami
perkembangan peserta didik supaya bisa mengembangkan bakat dan kemempuan
peserta didik sesuai kemampuan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
http://kumpulan.info/keluarga/anak/275-menghadapi-stres-ujian-di-sekolah.html
diakses pada 5 juni 2014 Pukul 20.32 WIB
Soeparwo, dkk. 2005. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT
MKK UNNES
[1] Desmita, Psikologi
Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 291
[3]
http://kumpulan.info/keluarga/anak/275-menghadapi-stres-ujian-di-sekolah.html
diakses tanggal 5 Juni 2014 pukul 20.32 WIB
[4]
Desmita, Op. Cit, hlm. 298-300
[5] Desmita, Op.
Cit, hlm. 301-304
[6] Soeparwoto dkk, Psikologi Perkembangan, (Semarang: UPT
MKK UNNES, 2005), hlm. 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar