PENDIDIKAN
PERDAMAIAN BERBASIS AGAMA UNTUK MENCIPTAKAN KEAMANAN INTERNASIONAL TANPA
TERORISME

Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Pendidikan Global
Dosen
Pengampu : Dr. Fauzi, M.Ag
Disusun
Oleh :
Ahmad Arifin Zain 1123305014
Tarbiyah/6
PGMI-A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
A. Pendahuluan
Terorisme
menjadi perbincangan serius yang tak kunjung menemukan titik penghabisan. Ini
adalah problem penting. Teror, bagaimanapun bentuknya, adalah kejahatan dahsyat
yang memicu berbagai masalah sosial keagamaan. Ia bukan sekedar pelanggaran
kriminal atau sekadar gesekan konflik. Akan lebih problematik lagi, ketika
teror ini membawa nama agama. Simbol-simbol agama digunakan sebagai legitimasi
membenarkan aksi-aksi kebiadaban. Sampai saat ini, kekerasan atas nama agama
bukan saja memberangus nilai kemanusiaan, tapi telah menciderai citra agama.
Benar adanya, meletakan agama sebagai suatu varian potensial pemicu konflik
kekerasan adalah tidak mudah. Ini karena doktrin agama manapun diasosiasikan
dengan ajaran yang penuh dengan kemudian dan keselamatan.
Maka
menjadi mutlak dan tidak dapat disangkal bahwa tidak ada pemeluk agama manapun
disosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan kedamaian dan keselamatan. Islam
mengemas norma ini dalam lima etika dasar, yakni menjaga jiwa, harta,
keturunan, agama dan harga diri. Agama dalam posisi ini tentu tidak bermain
dengan sendirinya, nilai-nilai normatif yang diamini satu entitas tidak dapat
hadir secara sendirinya dan membentuk norma yang ideal. Dalam kenyataan, wajah agama terkadang tidak
seideal seperti yang diharapkan dalam kerangka normatif itu. Ini terjadi pada
berbagai kasus kekerasan bahkan teror atas nama Tuhan, membawa-bawa nama agama
sebagai doktrin untuk menegaskan keabsahan segala macam bentuk kekerasan.
Satu
sisi agama menjadi landasan pendidikan perdamaian yang diidam-idamkan seluruh
umat manusia. Sisi lain, ia justru menjadi pemicu sekaligus referensi legal
untuk menyulut konflik. Kekerasan berkedok agama dengan bungkusan jihad
ditafsirkan sebagai ajaran profan yang harus diamini dan dilaksanakan.
Kekerasan model ini menempatkan agama sebagai faktor utamanya.
B. Definisi
terorisme
Kata
teroris ( pelaku) dan terorime (aksi) berasal dari kata Latin ‘terrere’ yang berati membuat gemetar
atau menggetarkan. Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of
Terorism (ESCT) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari crimes again state menjadi crimest against humanity. Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1937 mendefinisikan terorisme sebagai segala
bentuk tindakanyang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan
bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas.
Para
teroris umumnya menganggap diri mereka sebagai sparatis, pejuang pembebasan,
pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Menurut para ahli
tentang penafsiran terorisme:
1)
Menurut
TNI – AD. Terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror
sebagai tekhnik untuk mencapai tujuan.[1]
2)
Menurut
A.C Manullang. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekusaan dari kelompok
lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi, dan etnis
serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan
pemerintah, ataukarena danya paham sparatisme dan ideologi fanatisme.[2]
Dapat
disimpulkan bahwa terorisme adalah suatu
tindakan yang terkoordinasi dan mempunyai tujuan tertentu. Tindakan ini
merupakan realisasi terhadap ketidak cocokan terhadap suatu kebijakan atau
bentuk perlawanan.
C. Ciri-Ciri
Terorisme.
1) Organisasi
yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2) Mempunyai
tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai
tujuan.
3) Tidak
mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4) Memilih
sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa
takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
5) Menggunakan
cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
D.
Bentuk-Bentuk Terorisme.
Dilihar dari cara-cara yang
digunakan :
1)
Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan,
kegelisahan memalui sasaran pisik jasmani dalam bentuk pembunuhan,
penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dan sebagainya, sehingga nyata-nyata
dapat dilihat secara fisik akibat tindakan teror.
2)
Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala
macam cara yang bisa menimbulkan ketakutan dan kegelisahan tanpa harus
menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai sasaran) yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa akibatnya bisa gila,
bunuh diri, putus asa dan sebagainya.[3]
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1)
Teror Nasional, yaitu teror yang ditujukan kepada
pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan kekuasaan negara tertentu, yang
dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas nasional, dan
gangguan keamanan nasional.
2)
Teror Internasional. Tindakan teror yang ditujukan
kepada bangsa atau negara lain diluar kawasan negara yang didiami oleh teroris,
dengan bentuk :
·
Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam
bentuk penjajahan, invansi, intervensi, agresi dan perang terbuka.
·
Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam
bentuk pembajakan, gangguan keamanan internasional, sabotase, tindakan nekat
dan berani mati, pasukan bunuh diri, dan sebagainya.[4]
E. Faktor
Lahirnya Radikalisme Dan Aksi Teror Dalam Wajah Agama.
Menurut
Al-Makassary dalam Bernando dkk, sesungguhnya pertalian antar agama dan
terorisme bukan hal baru. Beberapa kosakata bahasa Inggris yang mendeskripsikan
terorisme diderivasi dari kelompok agama Hindu, Islam, dan Yahudi. Zealot adalah etimologi pada suatu sekte
Yahudi millenarian yang berjuang melawan penjajahan Romawi 66-73 SM dan dikenal
sebagai negara Israel sekarang. The
Zealots gemar melakukan pembunuhan indvidu dan penyembelihan massal.
Tidak
jauh bedanya dengan kata assasin
diturunkan dari satu cabang (offshot)
Musim Shi’a radikal antara 1090-1272
SM, melawan pasukan salib yang berupaya melakukan Syiria dan Iran sekarang ini.
Sedangkan sebutan Thug berasal dari
satu asosiasi agama India mengenai perampok dan pembunuh ahli yang secara
ritual mencekik hingga mati para pelancong sebagai korban persembahan kepada
Kali, dewa teror dan penghancur Hindu. Bisa disimpulkan, sampai abad ke 20
agama hanya menjadi justifikasi bagi teroris.[5]
Umumnya,
penyebab munculnya pemikiran radikalisme, fantisme dan anarkisme dalam beragama
sehingga sering menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi kita juga kelompok
lain terhadap islam, adalah sebagai berikut:
1.
Perselisihan Antar Umat dan Kelompok Islam.
Hal yang sering menjadi pemicunya adalah kebodohan kita sendiri dalam
memahami seruan Islam dalam menerima dan menghadapi perbedaan. Dan diantara
hal-hal yang sering menjadi sumber perpecahan diantara kita (umat islam)
adalah: Sekulerisme yaitu paham yang mengajak agar manusia menomersatukan dunia
dan meninggalkan agama. Sebab agama bagi penganut paham sekuler adalah
penghalang kemajuan hidup. Radikalisme beragama yaitu paham yang fanatik dalam
menjalankan ajaran islam secara murni dan menjauhkan diri kemajuan dan
kemodernan. Karena bagi mereka kemajuan dan kemodernan adalah kehancuran.
Karena itulah kelompok ini tidak bisa dan tidak mau menerima karya, pemikiran,
saran dan pendapat orang lain. Bahkan menganggap pemikiran dan pendapat orang
lain sebagai keraguan dan kebohongan yang harus dilawan.
2. Pencemaran
Nama Islam dan Muslimin.
Islam adalah agama yang Rahmatan lil Alamin, moderat, toleran,
berkeadilan, kemanuisaan, dan mendahulukan kemaslahatan. Namun ketika
orang-orang yang tidak paham dengan islam melakukan sesuatu atas nama Islam dan
secara berlebihan, sering menimbulkan masalah dan akibat yang justru
menimbulkan masalah baru yang dapat merusak citra Islam dan umat Islam.
Tindakan seperti itulah yang kini menggerus kebaikan Islam sehingga
menimbulkan ketakutan bagi orang lain dengan islam. Kemudian mereka berani
melakukan tindakan seimbang kepada Islam dan umat islam, itulah radikalisme dan
terorisme.
3. Tidak
Dapat Berpikir Jernih Dan Hilangnya Budaya Dialog.
Ketidak mampuan kita berpikir secara jernih dalam menerima dan menghadapi
masalah sesungguhnya merupakan faktor lain yang sering menimbulkan radikalisme
dan fanatisme beragama. Dengan demikian kita telah berubah menjadi orang yang
sulit untuk diajak berdialog secara ilmiah, sehingga yang terjadi hanya fitnah
diantara kita. Dan hal ini biasanya sebagai akibat dari sistim pendidikan kita
yang monoton, hanya member pelajaran yang wajib untuk dihafal dan dipahami
tanpa pernah member ruang kepada akal untuk bertanya dan berpikir.
4. Salah
tafsir dan salah pengertian.
Sikap dan tindakan kebanyakan orang yang ilmunya pas-pasan dan salah paham
atau tafsir dari dalil yang mereka gunakan sesungguhnya faktor utama timbulnya
radikalisme, fanatisme dan ekstrimisme beragama yang pada akhirnya hanya
melahirkan perpecahan diantara kita.[6]
F. Respon
Agama terhadap Isu Terorisme Dan Dialog Antar Peradaban Agama.
Pasca
terjadinya tragedi 11 September 2001, hampir semua negara yang mempunyai
kelompok Islam garis keras berupaya sekuat tenaga untuk menyumbangkan berbagai
pandangan untuk bahwa umat Islam bukan teroris, dan tidak semua aksi teroris
itu mewakili umat Islam.
Dialog
antar peradaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban
yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan
civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerja sama.
Dialog dipahami sebagai conversation of
cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang
memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai
sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati.
Ide
ini mendapat sambutan yang sangat positif, khususnya dari kalangan moderat. Hal
ini tercermin dari banyaknya lembaga-lembaga yang memprakarsai dialog antar peradaban.
Dialog itu sendiri esensinya ingin menghadirkan citra diri secara seimbang dan
proporsional.[7]
Dalam
kalangan lokal sendiri, peran keagamaan perlu dilakukan untuk mencegah
terorisme. Ormas Islam harus berperan dalam mencegah munculnya ekstremisme dan
terorisme. Ormas Islam harus menjelaskannya kepada masyarakat agar pemahaman
ajaran agama yang keras tidak perlu diikuti.
G. Meluruskan
Makna Jihad.
Menurut
Roy dalam Bernando dkk, Selama ini ayat-ayat yang menganjurkan kemanusiaan
universal seringkali disalah pahami oleh banyak kalangan. Seolah mereka
tenggelam dalam gemuruh radikal yang selalu menyerukan ajaran-ajaran jihad.
Bagi kaum radikal, jihad bermakna perang suci melawan musuh-musuh Islam. Jihad
melampaui pengotakan kesukuan dengan mengimbau pada umat dan mengatasi nilai-nilai dan aturan kesukuan dengan
menyeru pada Islam dan syari’at.[8]
Pada
hakikatnya, jihad dapat dibagi menjadi dua yaitu jihad akbar dan jihad asghar.
Jihad akbar yaitu jihad melawan hawa
nafsu dalam diri setiap muslim. Jihad asghar
yaitu perang melawan musuh-musuh Islam dan Muslimin. Jihad juga diartikan
sebagai setiap usaha sungguh-sungguh yang dilakukan dalam amal perbuatan baik
dan diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Selanjutnya, orang yang wafat
dalam setiap usaha, baik ini dapat disebut sebagai mati syahid, sebagaimana
mereka yang gugur dalam jihad membela diri dari musuh-musuh Muslim dan Islam.
Sesungguhnya
Al-Quran lebih mengutamakan cita-cita kemasyarakatan Islam yang begitu sentral
daripada pemahaman atas jihad yang sempit dan dangkal seperti dipahami oleh
sebagian pemeluk agama Islam. Al-Quran juga memberikan keamanan ontologi bagi
bangunan sebuah masyarakat dan peradaban Islam. Terdapat empat ciri utama yang
mendukung: terbuka, demokratik, toleran, dan damai. Keempat ciri tersebut
hendaknya dijadikan pegangan bagi semua gerakan pembaruan moral dan masyarakat.
Islam mengharapkan terwujudnya bangunan masyarakat yang berwajah ramah dan
anggun. Perbedaan agama,ideologi, dan nilai-nilai budaya tidak boleh dijadikan
penghambat untuk mencapainya.[9]
H. Perdamaian
Profetik
Perang,
barangkali adalah terma inti dari terorisme. Dalam logika rasioanal Barat,
perang dilakukan untuk melindungi kepentingan mereka, meski harus ada yang
dijadikan korban, negara lain, bangsa luar. Perang jelas menggunakan kekuatan
militer, serta sasarannya jelas. Namun dalam terorisme, tindakannya sulit
dikatakan sebagai perang, sasarannya punterampau kabur. Meski demikian,
indikasi menggunakan kekerasan dalam teror tak beda dengan perang. Antara teror
dan perang sama-sama menggunakan kekerasan. Pengalaman empirik berupa kekerasan
jelas bertentangan dengan ideologi kemanusiaan, yaitu perdamaian. Al-Qur’an
memang memperbolehkan perang dalam situasi yang tak terelakkan, namun
memerintahkan damai sebagai sebuah norma.[10]
Allah
menciptakan kecenderungan agresi dalam diri manusia, namun mengimbanginya
dengan dorongan kuat untuk hidup dalam kedamaian. Dua kecenderungan itu harus
dipahami sebagai bagian dari dinamika hidup manusia. Dalam bahasa Al-Qur’an,
kecenderungan untuk membina perdaamaian adalah manifestasi dari penciptaan
manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Situasi perang bisa terjadi akibat
ketidakadilan sistem. Al-Qur’an memimpikan perdamaian bukan sebatas dalam
aturan normatif berupa perintah semata, namun memberikan penyelesaian dari akar
permasalahan berupa penekanan terhadap pembangunan kehidupan ekonomi berbasis
kebutuhan, bukan berbasis ketamakan. Al-Qur’an tetap membina agar umat manusia
hidup dalam kedamaian, bukan dalam kondisi teror dan peperangan.
Dalam
Islam, perjuangan menuju kedamaian tidak dibatasi pada komunitas muslim semata,
ia menyeluruh untuk kepentingan universal kemanusiaan. Catatan Ali Engineer dalam
Bernando, menunjukan bahwa tidak ada satu pun teks dalam Al-Qur’an tentang mustakbirun (orang sombong, penindas)
dan mustadl’afun (lemah, tertindas)
yang menyebut apakah ia seorang muslim atau tidak. Artinya, perjuangan
menegakan keadilan, menjaga perdamaian, tidak melibatkan Islam sebagai agama.
Seorang muslim adalah penegak keadilan universal. Dimanapun, perdamaian harus
menjadi nilai utama.[11]
Dalam
takarannya, membina kerukunan antar agama juga tak kalah penting dalam rangka
menjaga perdamaian abadi. Orientasi hidup beragama, tidak sekedar mencari
kerukunan antar agama satu dengan yang lain. Justru ketika kerukunan agama
tercapai, ia akan menjadi modal dasar untuk membangun kehidupan beragama lebih
berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, jauh dari terorisme yang merugikan.
I.
Jalur Pendidikan.
Langkah
desiminatif yang ditempuh pertama kali untuk memulihkan kembali atau
menciptakan masyarakat yang mutamaddin seperti
diikhtiarkan Nabi, menjadi momentum akbar
sekaligus momok yang harus sesegera mungkin mendapat sentuhan. Nabi menyamai
semangat kedamaian melalui pendidikan yang nyaris tidak membekas garis
perbedaan. Nabi mampu dengan sempurna memindai konflik mahadahsyat menjadi
mmentum menyemaikan pendidikan perdamaian.
Menganut
model resolusi konflik ala Nabi yang sarat nilai edukatif itu, maka resolusi
yang kita dambakan selama ini adalah desain pendidikan perdamaian untuk
membangun masyarakat yang damai tanpa ada setitik kekerasan. Disini, ruang pendidikan
adalah garis start yang kali pertama
harus dilalui. Ruang ini yang paling dominan mengarahkan agama sebagai driving fore, dorongan positif yang
menihilkan dimensi negatifnya.[12]
Langkah
ini membutuhkan cipta kreatif pelaku pendidikan mengelola konflik (yang telah
terjadi) sebagai subjek matter menyemai
manajemen pendidikan perdamaian. Pemaknaan ini berangkat dari asumsi bahwa
konflik dalam satu komunitarian berpeluang menjadi modal yang konstruktif jika
dikelola dengan jalan non kekerasan.[13]
J.
Kesimpulan
Pendidikan
perdamaian berbasis agama menghendaki aktivitas pendidikan agama mnyentuh
kerangka peace building. Kebutuhan
pendidikan perdamaian menjadi hajat besar masyarakat dunia yang tidak dapat
ditawar. Pendidikan ini akan menjadi media utama menyemai semangat perdamaian,
sekaligus memberangus spirit teologi radikalisme, atau lebih
tepatnya mengubah paradigmanya. Strategi yang paling mungkin dilakukan adalah
intensifikasi peace building disekolah
sebagai pilar utama sajian pendidikan di sekolah. Di ruang pendidkan berbagai
dimensi inilah letak peran profetik sarjana muslim bermain peran. Peran
profetik mereka dirindukan guna meretas
pendidikan berbasis agama. Ini menjadi momok penting Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) dalam pemetaan alur pasar kerja lulusan. Maka tidak ada alasan untuk
menunda terapan pendidikan perdamaian agama demi terciptanya konstruk kehidupan
bangsa yang mutamaddun.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ahmad Najib. Faktor Dan Sumber Radikalisme (Beragama). [online] Tersedia: ( http://alhikmahdua.net/faktor-dan-sumber-radikalisme-beragama-2/)
[7 April 2014 pukul 10.08 WIB]
Andalas, Mutiara. 2010. Politik Para Teroris. Yogyakarta: Kanisius
Ika,
Likha. Makalah Terorisme Di Indonesia. [online]
Tersedia: (http://likha-ika.blogspot.com/2012/01/makalah-terorisme-di-indonesia.html)
[5 April 2014 pukul 08.31 WIB]
Manullang, A.C. 2001. Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim. Jakarta: Panta Rhei
Mustofa, Imam. Isu Terorisme Dan
Respon Agama-agama. [online] Tersedia:
(http://mushthava.blogspot.com/2009/05/isu-teorisme-dan-respon-agama-agama.html)
[6 April 2014 pukul 13.43 WIB]
Paulus, Loudewijk F. Terorisme. [online]
Tersedia: http://buletinlitbang.dephan.go.id
[6 April 2014 Pukul 12.40 WIB]
Sujibto M, Bernando J. Islam dan Terorisme. (Yogyakarta:
Grafindo Litera Media
[1] Loudewijk F. Paulus, Terorisme, (http://buletinlitbang.dephan.go.id)
diakses tanggal 6 April 2014 Pukul 12.40 WIB
[2] A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen
Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001), hlm. 151.
[4] Likha Ika, Makalah Terorisme Di Indonesia, (http://likha-ika.blogspot.com/2012/01/makalah-terorisme-di-indonesia.html)
diakses tanggal 5 April 2014 pukul 08.31 WIB
[5] Bernando J Sujibto M dkk, Islam dan Terorisme, (Yogyakarta:
Grafindo Litera Media, 2010), hlm. 83
[6] Ahmad Najib Afandi, Faktor Dan Sumber Radikalisme (Beragama),
( http://alhikmahdua.net/faktor-dan-sumber-radikalisme-beragama-2/)
diakses tanggal 7 April 2014 pukul 10.08 WIB
[7] Imam
Mustofa, Isu Terorisme Dan Respon Agama-agama
(http://mushthava.blogspot.com/2009/05/isu-terorisme-dan-respon-agama-agama.html)
diakses tanggal 6 April 2014 Pukul 13.44 WIB
[8] Bernando J Sujibto M dkk, Op. Cit, hlm. 88
[9] Ibid, hlm.89
[10] Ibid, hlm. 21
[11] Ibid, hlm. 22
[12] Bernando J Sujibto M dkk, Op. Cit, hlm. 42
[13] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar