Sabtu, 05 Maret 2016

Makalah PENDIDIKAN PERDAMAIAN BERBASIS AGAMA UNTUK MENCIPTAKAN KEAMANAN INTERNASIONAL TANPA TERORISME

PENDIDIKAN PERDAMAIAN BERBASIS AGAMA UNTUK MENCIPTAKAN KEAMANAN INTERNASIONAL TANPA TERORISME
LOG STAIN.JPG

Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Pendidikan Global
Dosen Pengampu : Dr. Fauzi, M.Ag

Disusun Oleh :
Ahmad Arifin Zain                 1123305014



Tarbiyah/6 PGMI-A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2014
A.      Pendahuluan
Terorisme menjadi perbincangan serius yang tak kunjung menemukan titik penghabisan. Ini adalah problem penting. Teror, bagaimanapun bentuknya, adalah kejahatan dahsyat yang memicu berbagai masalah sosial keagamaan. Ia bukan sekedar pelanggaran kriminal atau sekadar gesekan konflik. Akan lebih problematik lagi, ketika teror ini membawa nama agama. Simbol-simbol agama digunakan sebagai legitimasi membenarkan aksi-aksi kebiadaban. Sampai saat ini, kekerasan atas nama agama bukan saja memberangus nilai kemanusiaan, tapi telah menciderai citra agama. Benar adanya, meletakan agama sebagai suatu varian potensial pemicu konflik kekerasan adalah tidak mudah. Ini karena doktrin agama manapun diasosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan kemudian dan keselamatan.
Maka menjadi mutlak dan tidak dapat disangkal bahwa tidak ada pemeluk agama manapun disosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan kedamaian dan keselamatan. Islam mengemas norma ini dalam lima etika dasar, yakni menjaga jiwa, harta, keturunan, agama dan harga diri. Agama dalam posisi ini tentu tidak bermain dengan sendirinya, nilai-nilai normatif yang diamini satu entitas tidak dapat hadir secara sendirinya dan membentuk norma yang ideal.  Dalam kenyataan, wajah agama terkadang tidak seideal seperti yang diharapkan dalam kerangka normatif itu. Ini terjadi pada berbagai kasus kekerasan bahkan teror atas nama Tuhan, membawa-bawa nama agama sebagai doktrin untuk menegaskan keabsahan segala macam bentuk kekerasan.
Satu sisi agama menjadi landasan pendidikan perdamaian yang diidam-idamkan seluruh umat manusia. Sisi lain, ia justru menjadi pemicu sekaligus referensi legal untuk menyulut konflik. Kekerasan berkedok agama dengan bungkusan jihad ditafsirkan sebagai ajaran profan yang harus diamini dan dilaksanakan. Kekerasan model ini menempatkan agama sebagai faktor utamanya.

B.       Definisi terorisme
Kata teroris ( pelaku) dan terorime (aksi) berasal dari kata Latin ‘terrere’ yang berati membuat gemetar atau menggetarkan. Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of Terorism (ESCT) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari crimes again state menjadi crimest against humanity. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1937 mendefinisikan terorisme sebagai segala bentuk tindakanyang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Para teroris umumnya menganggap diri mereka sebagai sparatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Menurut para ahli tentang penafsiran terorisme:
1)          Menurut TNI – AD. Terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tekhnik untuk mencapai tujuan.[1]
2)          Menurut A.C Manullang. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekusaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, ataukarena danya paham sparatisme dan ideologi fanatisme.[2]
Dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah  suatu tindakan yang terkoordinasi dan mempunyai tujuan tertentu. Tindakan ini merupakan realisasi terhadap ketidak cocokan terhadap suatu kebijakan atau bentuk perlawanan.

C.  Ciri-Ciri Terorisme.
1)      Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2)      Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3)      Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4)      Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
5)      Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
D.      Bentuk-Bentuk Terorisme.
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1)      Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan memalui sasaran pisik jasmani dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dan sebagainya, sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara fisik akibat tindakan teror.
2)      Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan ketakutan dan kegelisahan tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa akibatnya bisa gila, bunuh diri, putus asa dan sebagainya.[3]
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1)      Teror Nasional, yaitu teror yang ditujukan kepada pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan kekuasaan negara tertentu, yang dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas nasional, dan gangguan keamanan nasional.
2)      Teror Internasional. Tindakan teror yang ditujukan kepada bangsa atau negara lain diluar kawasan negara yang didiami oleh teroris, dengan bentuk :
·         Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi, agresi dan perang terbuka.
·         Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan keamanan internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dan sebagainya.[4]

E.     Faktor Lahirnya Radikalisme Dan Aksi Teror Dalam Wajah Agama.
Menurut Al-Makassary dalam Bernando dkk, sesungguhnya pertalian antar agama dan terorisme bukan hal baru. Beberapa kosakata bahasa Inggris yang mendeskripsikan terorisme diderivasi dari kelompok agama Hindu, Islam, dan Yahudi. Zealot adalah etimologi pada suatu sekte Yahudi millenarian yang berjuang melawan penjajahan Romawi 66-73 SM dan dikenal sebagai negara Israel sekarang. The Zealots gemar melakukan pembunuhan indvidu dan penyembelihan massal.
Tidak jauh bedanya dengan kata assasin diturunkan dari satu cabang (offshot) Musim Shi’a radikal antara 1090-1272 SM, melawan pasukan salib yang berupaya melakukan Syiria dan Iran sekarang ini. Sedangkan sebutan Thug berasal dari satu asosiasi agama India mengenai perampok dan pembunuh ahli yang secara ritual mencekik hingga mati para pelancong sebagai korban persembahan kepada Kali, dewa teror dan penghancur Hindu. Bisa disimpulkan, sampai abad ke 20 agama hanya menjadi justifikasi bagi teroris.[5]
Umumnya, penyebab munculnya pemikiran radikalisme, fantisme dan anarkisme dalam beragama sehingga sering menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi kita juga kelompok lain terhadap islam, adalah sebagai berikut:
1. Perselisihan Antar Umat dan Kelompok Islam.
Hal yang sering menjadi pemicunya adalah kebodohan kita sendiri dalam memahami seruan Islam dalam menerima dan menghadapi perbedaan. Dan diantara hal-hal yang sering menjadi sumber perpecahan diantara kita (umat islam) adalah: Sekulerisme yaitu paham yang mengajak agar manusia menomersatukan dunia dan meninggalkan agama. Sebab agama bagi penganut paham sekuler adalah penghalang kemajuan hidup. Radikalisme beragama yaitu paham yang fanatik dalam menjalankan ajaran islam secara murni dan menjauhkan diri kemajuan dan kemodernan. Karena bagi mereka kemajuan dan kemodernan adalah kehancuran. Karena itulah kelompok ini tidak bisa dan tidak mau menerima karya, pemikiran, saran dan pendapat orang lain. Bahkan menganggap pemikiran dan pendapat orang lain sebagai keraguan dan kebohongan yang harus dilawan.
2. Pencemaran Nama Islam dan Muslimin.
Islam adalah agama yang Rahmatan lil Alamin, moderat, toleran, berkeadilan, kemanuisaan, dan mendahulukan kemaslahatan. Namun ketika orang-orang yang tidak paham dengan islam melakukan sesuatu atas nama Islam dan secara berlebihan, sering menimbulkan masalah dan akibat yang justru menimbulkan masalah baru yang dapat merusak citra Islam dan umat Islam.
Tindakan seperti itulah yang kini menggerus kebaikan Islam sehingga menimbulkan ketakutan bagi orang lain dengan islam. Kemudian mereka berani melakukan tindakan seimbang kepada Islam dan umat islam, itulah radikalisme dan terorisme.

3. Tidak Dapat Berpikir Jernih Dan Hilangnya Budaya Dialog.
Ketidak mampuan kita berpikir secara jernih dalam menerima dan menghadapi masalah sesungguhnya merupakan faktor lain yang sering menimbulkan radikalisme dan fanatisme beragama. Dengan demikian kita telah berubah menjadi orang yang sulit untuk diajak berdialog secara ilmiah, sehingga yang terjadi hanya fitnah diantara kita. Dan hal ini biasanya sebagai akibat dari sistim pendidikan kita yang monoton, hanya member pelajaran yang wajib untuk dihafal dan dipahami tanpa pernah member ruang kepada akal untuk bertanya dan berpikir.
4. Salah tafsir dan salah pengertian.
Sikap dan tindakan kebanyakan orang yang ilmunya pas-pasan dan salah paham atau tafsir dari dalil yang mereka gunakan sesungguhnya faktor utama timbulnya radikalisme, fanatisme dan ekstrimisme beragama yang pada akhirnya hanya melahirkan perpecahan diantara kita.[6]
F.      Respon Agama terhadap Isu Terorisme Dan Dialog Antar Peradaban Agama.
Pasca terjadinya tragedi 11 September 2001, hampir semua negara yang mempunyai kelompok Islam garis keras berupaya sekuat tenaga untuk menyumbangkan berbagai pandangan untuk bahwa umat Islam bukan teroris, dan tidak semua aksi teroris itu mewakili umat Islam.
Dialog antar peradaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerja sama. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati.
Ide ini mendapat sambutan yang sangat positif, khususnya dari kalangan moderat. Hal ini tercermin dari banyaknya lembaga-lembaga yang memprakarsai dialog antar peradaban. Dialog itu sendiri esensinya ingin menghadirkan citra diri secara seimbang dan proporsional.[7]
Dalam kalangan lokal sendiri, peran keagamaan perlu dilakukan untuk mencegah terorisme. Ormas Islam harus berperan dalam mencegah munculnya ekstremisme dan terorisme. Ormas Islam harus menjelaskannya kepada masyarakat agar pemahaman ajaran agama yang keras tidak perlu diikuti.

G.      Meluruskan Makna Jihad.
Menurut Roy dalam Bernando dkk, Selama ini ayat-ayat yang menganjurkan kemanusiaan universal seringkali disalah pahami oleh banyak kalangan. Seolah mereka tenggelam dalam gemuruh radikal yang selalu menyerukan ajaran-ajaran jihad. Bagi kaum radikal, jihad bermakna perang suci melawan musuh-musuh Islam. Jihad melampaui pengotakan kesukuan dengan mengimbau pada umat dan mengatasi  nilai-nilai dan aturan kesukuan dengan menyeru pada Islam dan syari’at.[8]
Pada hakikatnya, jihad dapat dibagi menjadi dua yaitu jihad akbar dan jihad asghar. Jihad akbar yaitu jihad melawan hawa nafsu dalam diri setiap muslim. Jihad asghar yaitu perang melawan musuh-musuh Islam dan Muslimin. Jihad juga diartikan sebagai setiap usaha sungguh-sungguh yang dilakukan dalam amal perbuatan baik dan diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Selanjutnya, orang yang wafat dalam setiap usaha, baik ini dapat disebut sebagai mati syahid, sebagaimana mereka yang gugur dalam jihad membela diri dari musuh-musuh Muslim dan Islam.
Sesungguhnya Al-Quran lebih mengutamakan cita-cita kemasyarakatan Islam yang begitu sentral daripada pemahaman atas jihad yang sempit dan dangkal seperti dipahami oleh sebagian pemeluk agama Islam. Al-Quran juga memberikan keamanan ontologi bagi bangunan sebuah masyarakat dan peradaban Islam. Terdapat empat ciri utama yang mendukung: terbuka, demokratik, toleran, dan damai. Keempat ciri tersebut hendaknya dijadikan pegangan bagi semua gerakan pembaruan moral dan masyarakat. Islam mengharapkan terwujudnya bangunan masyarakat yang berwajah ramah dan anggun. Perbedaan agama,ideologi, dan nilai-nilai budaya tidak boleh dijadikan penghambat untuk mencapainya.[9]

H.      Perdamaian Profetik
Perang, barangkali adalah terma inti dari terorisme. Dalam logika rasioanal Barat, perang dilakukan untuk melindungi kepentingan mereka, meski harus ada yang dijadikan korban, negara lain, bangsa luar. Perang jelas menggunakan kekuatan militer, serta sasarannya jelas. Namun dalam terorisme, tindakannya sulit dikatakan sebagai perang, sasarannya punterampau kabur. Meski demikian, indikasi menggunakan kekerasan dalam teror tak beda dengan perang. Antara teror dan perang sama-sama menggunakan kekerasan. Pengalaman empirik berupa kekerasan jelas bertentangan dengan ideologi kemanusiaan, yaitu perdamaian. Al-Qur’an memang memperbolehkan perang dalam situasi yang tak terelakkan, namun memerintahkan damai sebagai sebuah norma.[10]
Allah menciptakan kecenderungan agresi dalam diri manusia, namun mengimbanginya dengan dorongan kuat untuk hidup dalam kedamaian. Dua kecenderungan itu harus dipahami sebagai bagian dari dinamika hidup manusia. Dalam bahasa Al-Qur’an, kecenderungan untuk membina perdaamaian adalah manifestasi dari penciptaan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Situasi perang bisa terjadi akibat ketidakadilan sistem. Al-Qur’an memimpikan perdamaian bukan sebatas dalam aturan normatif berupa perintah semata, namun memberikan penyelesaian dari akar permasalahan berupa penekanan terhadap pembangunan kehidupan ekonomi berbasis kebutuhan, bukan berbasis ketamakan. Al-Qur’an tetap membina agar umat manusia hidup dalam kedamaian, bukan dalam kondisi teror dan peperangan.
Dalam Islam, perjuangan menuju kedamaian tidak dibatasi pada komunitas muslim semata, ia menyeluruh untuk kepentingan universal kemanusiaan. Catatan Ali Engineer dalam Bernando, menunjukan bahwa tidak ada satu pun teks dalam Al-Qur’an tentang mustakbirun (orang sombong, penindas) dan mustadl’afun (lemah, tertindas) yang menyebut apakah ia seorang muslim atau tidak. Artinya, perjuangan menegakan keadilan, menjaga perdamaian, tidak melibatkan Islam sebagai agama. Seorang muslim adalah penegak keadilan universal. Dimanapun, perdamaian harus menjadi nilai utama.[11]
Dalam takarannya, membina kerukunan antar agama juga tak kalah penting dalam rangka menjaga perdamaian abadi. Orientasi hidup beragama, tidak sekedar mencari kerukunan antar agama satu dengan yang lain. Justru ketika kerukunan agama tercapai, ia akan menjadi modal dasar untuk membangun kehidupan beragama lebih berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, jauh dari terorisme yang merugikan.

I.         Jalur Pendidikan.
Langkah desiminatif yang ditempuh pertama kali untuk memulihkan kembali atau menciptakan masyarakat yang mutamaddin seperti diikhtiarkan Nabi, menjadi momentum akbar sekaligus momok yang harus sesegera mungkin mendapat sentuhan. Nabi menyamai semangat kedamaian melalui pendidikan yang nyaris tidak membekas garis perbedaan. Nabi mampu dengan sempurna memindai konflik mahadahsyat menjadi mmentum menyemaikan pendidikan perdamaian.
Menganut model resolusi konflik ala Nabi yang sarat nilai edukatif itu, maka resolusi yang kita dambakan selama ini adalah desain pendidikan perdamaian untuk membangun masyarakat yang damai tanpa ada setitik kekerasan. Disini, ruang pendidikan adalah garis start yang kali pertama harus dilalui. Ruang ini yang paling dominan mengarahkan agama sebagai driving fore, dorongan positif yang menihilkan dimensi negatifnya.[12]
Langkah ini membutuhkan cipta kreatif pelaku pendidikan mengelola konflik (yang telah terjadi) sebagai subjek matter menyemai manajemen pendidikan perdamaian. Pemaknaan ini berangkat dari asumsi bahwa konflik dalam satu komunitarian berpeluang menjadi modal yang konstruktif jika dikelola dengan jalan non kekerasan.[13]

J.         Kesimpulan
Pendidikan perdamaian berbasis agama menghendaki aktivitas pendidikan agama mnyentuh kerangka peace building. Kebutuhan pendidikan perdamaian menjadi hajat besar masyarakat dunia yang tidak dapat ditawar. Pendidikan ini akan menjadi media utama menyemai semangat perdamaian, sekaligus memberangus  spirit teologi radikalisme, atau lebih tepatnya mengubah paradigmanya. Strategi yang paling mungkin dilakukan adalah intensifikasi peace building disekolah sebagai pilar utama sajian pendidikan di sekolah. Di ruang pendidkan berbagai dimensi inilah letak peran profetik sarjana muslim bermain peran. Peran profetik mereka  dirindukan guna meretas pendidikan berbasis agama. Ini menjadi momok penting Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam pemetaan alur pasar kerja lulusan. Maka tidak ada alasan untuk menunda terapan pendidikan perdamaian agama demi terciptanya konstruk kehidupan bangsa yang mutamaddun.



























DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ahmad Najib. Faktor Dan Sumber Radikalisme (Beragama). [online] Tersedia: ( http://alhikmahdua.net/faktor-dan-sumber-radikalisme-beragama-2/) [7 April 2014 pukul 10.08 WIB]
Andalas, Mutiara. 2010. Politik Para Teroris. Yogyakarta: Kanisius
Ika, Likha. Makalah Terorisme Di Indonesia. [online] Tersedia: (http://likha-ika.blogspot.com/2012/01/makalah-terorisme-di-indonesia.html) [5 April 2014 pukul 08.31 WIB]
Manullang, A.C. 2001. Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim. Jakarta: Panta Rhei

Mustofa, Imam. Isu Terorisme Dan Respon Agama-agama. [online] Tersedia:

Paulus, Loudewijk F. Terorisme. [online] Tersedia: http://buletinlitbang.dephan.go.id [6 April 2014 Pukul 12.40 WIB]
Sujibto M, Bernando J. Islam dan Terorisme. (Yogyakarta: Grafindo Litera Media



[1] Loudewijk F. Paulus, Terorisme, (http://buletinlitbang.dephan.go.id) diakses tanggal 6 April 2014 Pukul 12.40 WIB
[2] A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001),  hlm. 151.
[3] Mutiara Andalas, Politik Para Teroris, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 29
[4] Likha Ika, Makalah Terorisme Di Indonesia, (http://likha-ika.blogspot.com/2012/01/makalah-terorisme-di-indonesia.html) diakses tanggal 5 April 2014 pukul 08.31 WIB
[5] Bernando J Sujibto M dkk, Islam dan Terorisme, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010), hlm. 83

[6] Ahmad Najib Afandi, Faktor Dan Sumber Radikalisme (Beragama),

( http://alhikmahdua.net/faktor-dan-sumber-radikalisme-beragama-2/) diakses tanggal 7 April 2014 pukul 10.08 WIB

[7] Imam Mustofa, Isu Terorisme Dan Respon Agama-agama

[8] Bernando J Sujibto M dkk, Op. Cit, hlm. 88
[9] Ibid, hlm.89
[10] Ibid, hlm. 21
[11] Ibid, hlm. 22
[12] Bernando J Sujibto M dkk, Op. Cit, hlm. 42
[13] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar